Jika MK Putuskan Sistem Pemilu, Pakar: Geser Demokrasi Jadi Yuristokrasi
Sebab, masyarakat cenderung tidak bisa menyalurkan aspirasi politiknya kepada para hakim.
Penulis: Mario Christian Sumampow
Editor: Hendra Gunawan
Laporan Wartawan Tribunews, Mario Christian Sumampow
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pakar hukum tata negara dari Universitas Gadjah Mada (UGM), Zainal Arifin Mochtar mengatakan sistem demokrasi saat ini bakal berganti menjadi yuristokrasi jika Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan sistem Pemilu 2024 mendatang jadi proporsional tertutup.
Zainal menjelaskan, pilihan sistem pemilu bukan isu konstitusional, sehingga MK seharusnya menyatakan pilihan sistem adalah open legal policy atau kebijakan hukum terbuka.
Artinya, penentuan sistem pemilu merupakan domain lembaga pembentuk undang-undang, yakni DPR dan presiden.
Baca juga: Turun ke Daerah, PAN Dapat Aspirasi Agar Tetap Tegas Tolak Sistem Pemilu Proporsional Tertutup
Jika MK tetap memutuskan sistem pemilu yang harus digunakan, hal ini berarti hakim konstitusi masuk ke dalam ranah kuasa lembaga demokrasi.
"Ini bisa menggeser sistem demokrasi menjadi yuristokrasi, yakni ketika keputusan politik ditentukan oleh para hakim yang jelas adalah orang yang tidak dipilih secara demokratis," kata Zainal dalam webinar Ditjen Politik dan Pemerintahan Umum Kemendagri, dikutip Kamis (8/6/2023).
Sistem yuristokrasi disebut Zainal membahasnya kepentingan publik. Sebab, masyarakat cenderung tidak bisa menyalurkan aspirasi politiknya kepada para hakim.
"Dalam proses pengadilan agak jauh prinsip kedaulatan rakyat itu terjadi. Karena itu, sedari awal harus dibatasi betul yuristokrasi," katanya.
Masalahnya, kata Zainal, MK kerap tidak konsisten dalam memutus perkara terkait pasal open legal policy.
Ia mencontohkan MK dalam memutuskan perkara masa jabatan. Biasanya MK menyatakan bahwa durasi masa jabatan adalah open legal policy.
Namun, sebagaimana diketahui ini MK baru saja memperpanjang masa jabatan komisioner Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menjadi lima tahun.
Melihat hal itu, Zainal khawatir MK akan memutuskan salah satu sistem pemilu yang konstitusional dan harus diterapkan.
Apabila itu terjadi, dia menilai MK tidak lagi membuat keputusan berdasarkan isu konstitusionalitas, melainkan atas kepentingan politik.
Sebelumnya, MK telah menerima permohonan uji materi terhadap Pasal 168 ayat (2) UU Pemilu terkait sistem proporsional terbuka yang didaftarkan dengan nomor registrasi perkara 114/PUU-XX/2022 pada 14 November 2022. Uji materi ini tinggal menunggu putusan.
Keenam orang yang menjadi pemohon ialah Demas Brian Wicaksono (pemohon I), Yuwono Pintadi (pemohon II), Fahrurrozi (pemohon III), Ibnu Rachman Jaya (pemohon IV), Riyanto (pemohon V), dan Nono Marijono (pemohon VI).
Untuk diketahui, sistem pemilu tertutup diberlakukan sejak masa pemerintahan Presiden Ir. Soekarno pada 1955, serta masa pemerintahan Presiden Soeharto yakni 1971 sampai 1992.
Pada Pemilu 1999 juga masih menggunakan sistem proporsional tertutup. Pun Pemilu 2004.
Penerapan sistem proporsional tertutup pun menuai kritik dan dilakukan uji materi ke ke MK pada 2008. Kemudian sejak Pemilu 2009 hingga Pemilu 20219, sistem pemilu beralih menjadi proporsional terbuka.