KPK Buka Opsi Panggil Paksa Hakim Agung Prim Haryadi
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) melirik opsi penjemputan paksa terhadap Hakim Agung Prim Haryadi yang sudah dua kali mangkir panggilan tim penyidik
Penulis: Ilham Rian Pratama
Editor: Theresia Felisiani
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) melirik opsi penjemputan paksa terhadap Hakim Agung Prim Haryadi yang sudah dua kali mangkir panggilan tim penyidik.
Prim sedianya diperiksa sebagai saksi dalam penyidikan kasus dugaan suap pengurusan perkara di Mahkamah Agung (MA).
"Terkait dengan pemanggilan hakim ya? Yang bersangkutan belum bisa hadir. Nah, apakah bisa dilakukan pemanggilan paksa? Ya, sesuai ketentuan undang-undang, bisa," kata Wakil Ketua KPK Alexander Marwata dalam keterangannya, Kamis (8/6/2023).
Baca juga: Soroti Perkara Suap MA dan Sistem Peradilan Indonesia, Eks Ketua KY: Beban MA Berat Sekali
Alex yakin Prim Haryadi sangat memahami Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).
Alex berharap Prim bisa memenuhi panggilan berikutnya.
"Kalau yang bersangkutan tidak hadir pasti kita akan hadirkan secara paksa," kata Alex.
Alex menambahkan surat panggilan pemeriksaan terhadap hakim agung senantiasa ditembuskan kepada Ketua MA yang saat ini dijabat oleh M. Syarifuddin.
"Jadi, tidak hanya kepada yang bersangkutan tetapi kita meminta kepada Ketua MA untuk memerintahkan hakim agung untuk hadir memenuhi panggilan KPK," ujar Alex.
Pada hari ini, Rabu (7/6/2023), KPK memanggil Prim Haryadi dan hakim agung sekaligus Ketua Kamar Pidana MA Suhadi sebagai saksi untuk tersangka Sekretaris MA Hasbi Hasan dan mantan Komisaris Independen Wijaya Karya (Wika) Beton Dadan Tri Yudianto. Suhadi juga tidak hadir.
Prim dan Suhadi rencananya akan didalami terkait dengan penanganan perkara pidana yang menjerat Pengurus Koperasi Simpan Pinjam (KSP) Intidana Budiman Gandi Suparman.
"Sebetulnya kita ingin mengetahui bagaimana mekanisme penunjukan majelis hakim di Mahkamah Agung itu, apakah by sistem, misalnya 'oh majelis ini yang kosong' by sistem, otomatis majelisnya itu, atau ada kebijakan-kebijakan tertentu yang tidak tertulis, misalnya untuk menunjuk atau menjadi kewenangan sepenuhnya dari Ketua Kamar untuk menunjuk majelis hakim," jelas Alex.
"Ketika menunjuk majelis hakim, apa saja yang harus diperhatikan? kan itu yang perlu didalami, apakah itu tadi 'terserah saya' atau apa pun," imbuhnya.
Baca juga: Pakar Sebut Sekretaris MA Hasbi Hasan Tak Cukup Hanya Dijerat Hukum, Harus Diberi Sanksi Moral
Di tingkat kasasi, Budiman dinyatakan bersalah dan dihukum dengan pidana 5 tahun penjara.
Putusan perkara nomor: 326 K/Pid/2022 itu menganulir putusan Pengadilan Negeri (PN) Semarang yang membebaskan Budiman.
Duduk sebagai ketua majelis kasasi dalam perkara tersebut yaitu Sri Murwahyuni dengan anggota masing-masing Gazalba Saleh dan Prim Haryadi.
Prim menyatakan pendapat berbeda atau dissenting opinion.
Sementara Suhadi menjadi ketua majelis Peninjauan Kembali (PK) Budiman Gandi Suparman.
Dalam proses PK ini, MA menyatakan Budiman tidak bersalah dan membebaskan yang bersangkutan dari dakwaan jaksa penuntut umum dalam Pasal 266 ayat 1 dan 2 KUHP serta Pasal 263 ayat 2 KUHP.
Perkara nomor: 127 PK/PID/2022 ini diadili oleh ketua majelis Suhadi dengan hakim anggota Suharto dan Soesilo.
Namun, Soesilo menyatakan dissenting opinion dan menilai Budiman tetap bersalah.
Baca juga: KPK Terkait Penahanan Sekretaris MA Hasbi Hasan: Hanya soal Waktu
KPK resmi mengumumkan Hasbi Hasan dan Dadan Tri Yudianto sebagai tersangka pada Selasa (6/6/2023) malam.
Dadan langsung dilakukan penahanan selama 20 hari hingga 25 Juni 2023, sedangkan Hasbi belum ditahan.
Kasus ini merupakan pengembangan dari perkara dugaan suap yang sebelumnya menyeret dua hakim agung nonaktif Sudrajad Dimyati dan Gazalba Saleh.
KPK mengungkap dugaan aliran uang Rp11,2 miliar ke Hasbi dan Dadan terkait pengurusan perkara Budiman. Dari jumlah itu, Hasbi menerima sebagian uang.
Baik Hasbi maupun Dadan telah mengajukan gugatan Praperadilan ke Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan guna melepas status tersangka yang disematkan KPK.