Alasan MK Putuskan Sistem Pemilu Terbuka, Singgung Politik Uang hingga Ancaman NKRI
MK mengungkapkan beberapa alasan terkait putusan menolak gugatan sistem pemilu tertutup yakni soal poltiik uang hingga ancaman.
Penulis: Yohanes Liestyo Poerwoto
Editor: Endra Kurniawan
"Menurut Mahkamah, perbaikan dan penyelenggaraan pemilihan umum dapat dilakukan dalam berbagai aspek, mulai dari sistem kepartaian, budaya politik, kesadaran dan perilaku pemilih, hak dan kebebasan berekspresi serta mengemukakan pendapat, kemajemukan ideologi, kaderisasi dalam tubuh partai politik, hingga kepentingan dan aspirasi masyarakat yang direpresentasikan oleh partai politik," kata hakim Saldi Isra.
Sebagai informasi, dalam putusan MK ini, ada hakim yang menyatakan beda pendapat atau dissenting opinion yaitu Arief Hidayat.
Seperti diketahui, sistem pemilu proporsional terbuka yang diatur dalam UU Nomor 17 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum digugat oleh beberapa orang.
Berdasarkan berkas yang diunggah di laman MK, orang yang menggugat, yaitu Demas Brian Wicaksono, Yuwono Pintadi, Fahrurrozi, Ibnu Rachman Jaya, Riyanto, dan Nono Marjiono.
Para penggugat tersebut memohon agar sistem Pemilu 2024 digelar dengan proporsional tertutup.
Di sisi lain, ada delapan partai politik di parlemen selain PDIP yang tetap menginginkan sistem pemilu digelar secara proporsional terbuka.
Kedelapan partai tersebut yaitu Golkar, Gerindra, Nasdem, PKB, PAN, PKS, Demokrat, dan PPP.
Lalu, persidangan terakhir digelar pada 30 Mei 2023 lalu.
Kendati demikian, dalam perjalanan menuju putusan gugatan sistem Pemilu 2024, eks Wakil Menteri Hukum dan HAM, Denny Indrayana, menyebut memperoleh informasi bahwa MK akan memutuskan sistem Pemilu 2024 digelar secara proporsional tertutup.
Baca juga: Tetap Putuskan Proporsional Terbuka, MK: Sistem Apapun Sama-sama Berpotensi Terjadi Politik Uang
Isu tersebut dilontarkannya melalui cuitan di akun Twitter pribadinya, @dennyindrayana, Minggu (28/5/2023).
"Pagi ini (Minggu) saya mendapatkan informasi penting. MK akan memutuskan pemilu legislatif kembali ke sistem proporsional tertutup, kembali memilih tanda gambar partai saja. Info tersebut menyatakan komposisi putusan 6 berbanding 3 dissenting," tulisnya.
Dirinya juga mengatakan informasi tersebut berasal dari seseorang yang dapat dipercaya kredibilitasnya.
"Siapa sumbernya? Orang yang sangat saya percaya kredibilitasnya, yang pasti bukan Hakim Konstitusi. Maka, kita kembali ke sistem pemilu Orba: otoritarian dan koruptif," pungkasnya.
(Tribunnews.com/Yohanes Liestyo Poerwoto)
Artikel lain terkait Pemilu 2024