VIDEO EKSKLUSIF Dekan Fisipol UGM: Dugaan Saya, Sebenarnya Semua Parpol Dukung Sistem Tertutup
Feri Amsari berpendapat apa yang sedang dilakukan oleh pemohon adalah berbahaya bagi proses penyelenggaraan pemilu di Indonesia.
Editor: Srihandriatmo Malau
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Mahkamah Konstitusi (MK) memutus menolak untuk seluruhnya perkara gugatan UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu perihal sistem pemilu. MK memutuskan sistem pemilu tetap dilaksanakan dengan proporsional terbuka.
Terkait itu, Dekan Fisipol Universitas Gadjah Mada (UGM) Wawan Mas'udi dan Dosen Hukum Tata Negara di Universitas Andalas, Padang, Sumatera Barat (Sumbar) Feri Amsari memberikan tanggapannya terkait putusan MK tersebut.
Menurut Wawan Mas'udi, putusan MK memberikan legitimasi terhadap sistem pemilu yang selama ini telah dijalankan di Indonesia.
"Yang pasti dalam kaca mata saya, putusan MK merupakan bentuk dari pelegitimasian atas pilihan sistem yang kita punya selama ini."
"Dan ini bagus untuk melakukan proses institusionalisasi atau pelembagaan pilihan sistem pemilu."
"Karena kita semakin terbiasa kedepan, masyarakat semakin paham dan secara teknis pemilu akan semakin bagus daripada diubah setiap waktu" ujar Wawan saat wawancara eksklusif dengan Direktur Pemberitaan Tribun Network Febby Mahendra Putra, Kamis (15/6/2023).
Feri Amsari berpendapat apa yang sedang dilakukan oleh pemohon adalah berbahaya bagi proses penyelenggaraan pemilu di Indonesia. Karena biaya politik akan menjadi lebih mahal.
"Jadi agak kontradiktif. Kenapa lebih mahal? Misalnya diubah sistem pemilu tertutup, maka penyelenggara harus sosialisasi lagi kepada peserta, pemilih. Dan itu pasti memebankan biaya," ujar Feri Amsari dalam acara yang sama.
"Pemilih juga akan kebingungan karena tiba-tiba berubah di tengah jalan di tengah tahapan sedang berlangsung."
Bukan itu saja, kata dia, partai politik juga harus melakukan sosialisasi kepada para kadernya bahwa sudah terjadi perubahan.
"Dan taktiknya pasti berubah. Ini beban biaya baru. Dan itu tidak menjadi alat ukur yang dihitung sebagai beban biaya yang harus dikeluarkan dalam proses pemilu," jelasnya.
Dalam kesempatan ini juga, Wawan mengungkap biaya politik pasti akan tinggi jika seseorang calon anggota legislatif (caleg) tidak miliki modal sosial, yakni merintis dari tingkatan terendah, tidak dikenal, hingga tidak punya track record atau rekam jejak yang diketahui publik.
Untuk lengkapnya, mari tonton video wawancara eksklusif Direktur Pemberitaan Tribun Network Febby Mahendra Putra dengan Dekan Fisipol Universitas Gadjah Mada (UGM) Wawan Mas'udi dan Dosen hukum tata negara di Universitas Andalas, Feri Amsari.(*)
Kirim Komentar
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.