Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribun

Jubir Anies: Legalisasi 3,3 Juta Hektar Jangan Langgengkan Pelanggaran di Industri Sawit

Surya Tjandra, menyoroti rencana pemerintah yang sedang berupaya menyelesaikan persoalan 3,3 juta hektare lahan sawit yang berada di kawasan hutan.

Penulis: Chaerul Umam
Editor: Adi Suhendi
zoom-in Jubir Anies: Legalisasi 3,3 Juta Hektar Jangan Langgengkan Pelanggaran di Industri Sawit
Tribunnews.com/Ibriza Fasti Ifhami
Mantan Wakil Menteri ATR/BPN yang juga jubir Anies Baswedan, Surya Tjandra, menyoroti rencana pemerintah yang sedang berupaya menyelesaikan persoalan 3,3 juta hektare lahan sawit yang berada di kawasan hutan. 

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Mantan Wakil Menteri ATR/BPN yang juga jubir Anies Baswedan, Surya Tjandra, menyoroti rencana pemerintah yang sedang berupaya menyelesaikan persoalan 3,3 juta hektare lahan sawit yang berada di kawasan hutan.

Sebelumnya, pemerintah melalui Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan menyebut jalan penyelesaiannya dengan legalisasi atau pemutihan lahan tersebut melalui Undang-Undang Cipta Kerja.

Luhut menyebutkan mekanisme legalisasi lahan tersebut dilakukan sesuai pasal 110 a dan b UU Cipta Kerja, yang intinya pengelola harus taat hukum dengan melengkapi setiap persyaratan administrasi dan membayar denda atau pajak sesuai aturan yang berlaku.

Surya Tjandra mengatakan, bahwa upaya penyelesaian pelanggaran lahan sawit itu tidak boleh dilakukan dengan melanggengkan pelanggaran.

Menurutnya, harus diperjelas di mana saja lokasi lahan sawit yang berada di dalam kawasan hutan tersebut serta status izin atau hak pengelolaannya.

Baca juga: Oknum Pejabat Diduga Terlibat Dibukanya 3,3 Juta Hektar Kebun Sawit di Tengah Hutan

“Apakah sudah ada izin atau hak yang diberikan di atasnya, atau memang pelanggaran terhadap ketentuan undang-undang? Tidak bisa merta semuanya seenaknya saja diputihkan, meski diiming-imingi pembayaran pajak dan perbaikan tata kelola sekalipun,” ujar Surya Tjandra dalam keterangannya, Selasa (27/6/2023).

Kalau pun mau diputihkan, lanjut Surya, harus dipilah dulu sesuai dengan kriteria yang ada di Peraturan Pemerintah No. 43/2021, termasuk di dalamnya terkait ketidaksesuaian atau tumpang tindih antara hak dan perizinan, keterlanjuran karena perubahan regulasi, atau memang pelanggaran yang karena itu harus dipertanggungjawabkan secara hukum.

Berita Rekomendasi

Menurutnya, dua kriteria pertama terjadi akibat ketidaktelitian pemerintah sendiri, jadi mestinya pemerintah juga ikut bertanggung jawab.

Baca juga: Pemerintah Targetkan Perkebunan Kelapa Sawit di 16 Provinsi Bebas Pekerja Anak

Surya juga menyinggung adanya masyarakat yang terlebih dulu mengelola dan memanfaatkan lahan di kawasan hutan.

Mereka, lanjut dia, semestinya bisa mendapatkan hak melalui redistribusi tanah dari pelepasan kawasan hutan dalam program reforma agraria yang juga prioritas nasional, sama dengan sawit.

“Semoga Pak Luhut tidak lupa bahwa di dalam 3,3 juta hektar lahan tersebut juga ada masyarakat yang sudah menguasai dan menggunakan tanah. Sudah semestinya mereka juga mendapat prioritas pertama atau perhatian pemerintah, tidak hanya pengusahanya,” ujarnya.

Tata kelola perkebunan sawit yang baik mensyaratkan adanya data pertanahan dan kawasan hutan yang akurat.

Surya merujuk pengalamannya saat menjadi Wamen ATR/BPN, di mana sering terjadi ketidaksinkronan data antara Kementerian ATR/BPN dan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.

Berbagai upaya mendorong kebijakan satu peta juga belum memberikan hasil konkret. Padahal, lanjut Surya, upaya itu bisa dipercepat melalui pemanfaatan teknologi dan partisipasi.

Tetapi menurutnya dua cara itu masih terhambat karena ketiadaan anggaran, dan terutama karena keengganan pemerintah sendiri untuk membuka data hak, khususnya gak guna usaha dan perizinan, sesuai rekomendasi Komisi Informasi Pusat (KPI).

“Karena hanya dengan keterbukaan informasi dan data hak guna usaha serta perizinannya itu, perkebunan sawit dan industri yang berada di dalamnya bisa senantiasa diperiksa apakah betul-betul memberi manfaat bagi rakyat, atau hanya menguntungkan segelintir pengusaha dan penguasa yang melindunginya,” tandasnya. (*)

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
© 2024 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas