Kisah Haru Jaroni & Priyono, Eks WNI Dicabut Kewarganegaraannya Imbas Tak Akui Soekarno Dalang 1965
Dua eks WNI bernama Jaroni dan Priyono menceritakan saat dicabut kewarganegaraannya lantaran menolak mengakui Soekarno sebagai dalang peristiwa 65.
Penulis: Yohanes Liestyo Poerwoto
Editor: Daryono
TRIBUNNEWS.COM - Kisah haru disampaikan oleh eks WNI yang menjadi korban peristiwa 1965-1966 bernama Jaroni Soerjomartono (80) dari Ceko dan Sudaryanto Priyono (81) dari Rusia.
Dalam pengakuannya, mereka dilarang pulang ke RI dan dicabut kewarganegaraannya saat itu saat masih berstatus mahasiswa.
Jaroni awalnya menceritakan saat itu, ia yang masih berumur 22 tahun, tengah berstudi di Sekolah Tinggi Ekonomi di Ceko dengan memperoleh beasiswa dari Kementerian Perguruan Tinggi dan Ilmu Pengetahuan (PTIP) RI.
Saat itu, Jaroni memperoleh informasi adanya kudeta di Indonesia pada 30 September 1965 dan Presiden RI pertama, Soekarno dituding menjadi dalangnya.
Namun, ia mengaku tidak percaya atas informasi tersebut lantaran saat itu Soekarno memiliki dukungan kuat selama menjabat sebagai Presiden.
"Ya, pada waktu September 65, terjadi sesuatu peristiwa di Indonesia yang menyangkut adanya kudeta di Indonesia dan apa yang kita terima adalah kudeta itu didalangi oleh Bung Karno."
"Dan buat saya pribadi, itu sangat tidak masuk akal sebab Bung Karno saat itu sudah jadi Presiden dan dengan kedudukan yang kuat," kata Jaroni dikutip dari YouTube Sekretariat Presiden, Selasa (27/6/2023).
Baca juga: Eksil korban peristiwa 1965: Apa kaitan mereka dengan label PKI sehingga tidak diakui sebagai WNI?
Lalu, setelah itu, Jaroni dan 16 teman-temannya di Ceko diminta untuk menandatangani perjanjian terkait adanya pemerintahan baru.
Namun, mereka menolak untuk menandatangani dan berbuntut pencabutan paspor dan kewarganegaraan.
Alhasil, Jaroni dan rekan-rekannya pun harus menetap di Ceko
"Dicabut semua karena tidak mau menandatangani persetujuan atas terbentuknya pemerintahan yang baru," tuturnya.
Cerita serupa juga disampaikan Sudaryanto.
Berbeda dengan Jaroni, ia dikirim untuk menempuh pendidikan di Institute Koperasi Moskow oleh Departemen Koperasi dan Transmigrasi Indonesia dengan memperoleh beasiswa dari pemerintah Uni Soviet.
Saat masih studi, peristiwa 1965 pun pecah dan dirinya diminta untuk mengutuk Soekarno sebagai salah satu syarat screening.