Mahfud MD: Upaya Membawa Pelanggaran HAM Berat Masa Lalu Selalu Gagal Dibuktikan di Pengadilan
Mahfud MD mengatakan implementasi rekomendasi PPHAM yang saat ini tengah dijalankan pemerintah merupakan pemenuhan hak-hak korban pelanggaran HAM.
Penulis: Gita Irawan
Editor: Hasanudin Aco
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Gita Irawan
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Menteri Koordinator Bidang Politik Hukum dan Keamanan Mahfud MD mengatakan implementasi rekomendasi PPHAM yang saat ini tengah dijalankan pemerintah merupakan pemenuhan hak-hak korban pelanggaran HAM berat masa lalu.
Selain itu, kata dia, pelaksanaan rekomendasi Tim PPHAM merupakan upaya pencegahan agar tidak lagi terjadi pelanggaran hak asasi manusia berat di masa yang akan datang.
Pasca Reformasi 1998, Mahfud mengatakan di Indonesia telah dikeluarkan tiga peraturan perundang-undangan yakni TAP MPR nomor17 tahun 1998, Undang-Undang 39 tahun 1999, dan Undang-Undang no 26 tahun 2000.
Isi dari ketiga peraturan perundang-undangan tersebut antara lain adalah agar pelanggaran HAM berat pada masa lalu diselidiki dan diputuskan oleh Komnas HAM untuk diselesaikan.
Baca juga: Jokowi Sebut Luka Korban HAM Berat Harus Dipulihkan
Penyelesaiannya, kata Mahfud, ditempuh melalui dua jalur yaitu penyelesaian yudisial melalui pengadilan HAM dan penyelesaian non-yudisial melalui komisi kebenaran dan rekonsiliasi atau KKR.
Penyelesaian yudisial bagi pelanggaran HAM berat yang terjadi sebelum tahun 2000 harus ditempuh melalui pengadilan HAM adhoc.
Sedangkan yang terjadi setelah tahun 2000 diselesaikan melalui pengadilan HAM biasa yang sekarang sudah ada undang-undangya.
Hal itu disampaikannya dalam sambutan di halaman Rumoh Geudong Kabupaten Pidie Aceh dalam rangka Peluncuran Program Pelaksanaan Rekomendasi Dimulainya Penyelesaian Non Yudisial Pelanggaran HAM yang Berat pada Selasa (27/6/2023).
"Akan tetapi setelah lebih dari dua dekade, upaya penyelesaian melalui dua jalur tersebut hasilnya jauh dari harapan. Upaya membawa pelanggaran HAM berat masa lalu itu selalu gagal dibuktikan di pengadilan," kata Mahfud di kanal Youtube Kemenko Polhukam RI pada Selasa (27/6/2023).
"Sehingga dari empat peristiwa dengan 35 terdakwa yang diajukan ke pengadilan semuanya pada akhirnya dibebaskan oleh pengadilan," kata Mahfud. Masalahnya pembuktiannya berdasar hukum acara pidana sangat sulit dipenuhi," sambung dia.
Sedangkan, kata Mahfud, upaya membentuk komisi kebenaran dan rekonsiliasi juga kandas.
Menurut Mahfud hal itu dilakukan karena undang-undang nomor 27 tahun 2004 yang dibuat oleh pemerintah bersama DPR dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi dan menghadapi banyak hambatan yang rumit untuk membuat undang-undang KKR yang baru.
Itulah sebabnya, lanjut Mahfud, daripada berdiam diri dan menunggu selesainya kerumitan-kerumitan melalui dua jalur tersebut Presiden Republik Indonesia memutuskan kebijakan.
"Presiden Republik Indonesia mengambil kebijakan untuk melakukan langkah-langkah pemenuhan hak korban pelanggaran HAM berat masa lalu lebih dulu melalui keppres no 17 tahun 2022 tentang pembentukan tim penyelesaian non yudisial pelanggaran hamyang berat masa lalu atau dikenal sebagai PPHAM," kata Mahfud.
Adanya Keppres tentang PPHAM tersebut, kata dia, sama sekali tidak meniadakan keharusan dan upaya penyelesaian yudisial melainkan semata-mata dimaksudkan untuk memenuhi hak para korban lebih dahulu sebelum jalur-jalur yang disediakan itu selesai problem-problemnya.
"Tekanannya, tekanannya adalah korban, bukan pelaku. Untuk pelaku pelanggaran HAM berat tersebut akan terus diupayakan untuk diselesaikan sesuai dengan ketentuan undang-undang," jata Mahfud.
"Begitu juga undang-undang tentang KKR karena hal itu diperlukan untuk masa-masa yang akan datang sehingga juga akan terus diusahakan untuk dibuat," sambung dia.