Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribun

Rekomendasi ICJR dalam Pemberantasan TPPO: Tingkatkan Kapasitas Aparat Penegak Hukum

Maidina Rahmawati mengatakan, pihaknya memberikan rekomendasi agar sedianya kapasitas aparat penegak hukum (APH) di Indonesia ditingkatkan.

Penulis: Rizki Sandi Saputra
Editor: Muhammad Zulfikar
zoom-in Rekomendasi ICJR dalam Pemberantasan TPPO: Tingkatkan Kapasitas Aparat Penegak Hukum
Gita Irawan/Tribunnews.com
Peneliti Institut for Criminal Justice Reform (ICJR) Maidina Rahmawati. ICJR mengeluarkan rekomendasi atas temuannya terkait Undang-Undang Nomor 21 tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO). 

Laporan Reporter Tribunnews.com, Rizki Sandi Saputra

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) mengeluarkan rekomendasi atas temuannya terkait Undang-Undang Nomor 21 tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO).

Peneliti ICJR Maidina Rahmawati mengatakan, pihaknya memberikan rekomendasi agar sedianya kapasitas aparat penegak hukum (APH) di Indonesia ditingkatkan.

"Kami membangun rekomendasi, pertama adalah pentingnya untuk meningkatkan kapasitas aparat penegak hukum," kata Maidina saat menyampaikan temuannya yang bertajuk Evaluasi Kerangka Hukum Pemberantasan TPPO dan Bentuk Eksploitasi Lain, Selasa (4/7/2023).

Baca juga: ICJR Menilai Kerangka Hukum TPPO Perlu Dilakukan Perbaikan

Kata dia, dengan diperkuatnya kapasitas APH tersebut maka pemahaman terhadap kerangka hukum dalam upaya pemberantasan TPPO bisa dimaksimalkan.

Sebab, secara harfiahnya APH merupakan salah satu pihak yang menerapkan dan bersentuhan langsung dengan Undang-Undang tersebut.

"Mengenai kerangka hukum pemberantasan TPPO dan bentuk eksploitasi lainnya jadi tidak hanya TPPO tapi juga mendefinisikan kerja paksa, mendefinisikan eksploitasi seksual, membedakan dengan bentuk lainnya itu juga sangat penting dibangun kapasitas di aparat penegak hukum," tutur dia.

Berita Rekomendasi

Sebelumnya, Peneliti Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) Maidina Rahmawati menyampaikan hasil temuan pihaknya terkait dengan Undang-Undang Nomor 21 tahun 2007 tentang Pemberantasan tindak pidana perdagangan orang (TPPO).

Baca juga: ICJR Sebut Masih Ada Penegak Hukum yang Belum Memahami Tiga Unsur Penting Dalam Kasus TPPO

Maidina turut menyampaikan hasil temuan dari sisi aparat penegak hukum (APH) dengan melibatkan 18 orang termasuk di antaranya 5 orang anggota Polri, 7 orang Kejaksaan Negeri dan 6 orang hakim Pengadilan Negeri.

"Ini dilakukan di Medan, Kisaran, Batam, penyidikan di Bareskrim tingkat Nasional, Pontianak, Mataram dan Kupang, daerah ini mewakili banyak demografi putusan-putusan yang paling banyak sampai ke tingkat MA terkait tindak pidana perdagangan orang," kata Maidina saat menyampaikan hasil temuan Evaluasi Kerangka Hukum Pemberantasan TPPO dan Bentuk Eksploitasi Lain, Selasa (4/7/2023).

Dari hasil itu, Maidina mengatakan, ICJR masih menemukan adanya aparat penegak hukum yang belum sepenuhnya memahami tentang tiga komponen inti dari TPPO.

Adapun tiga komponen inti yang dimaksud yakni proses, cara dan tujuan.

"Ternyata masih ada aparat penegakan hukum yang belum cukup familiar terhadap tiga unsur penting, atau unsur inti dalam tindak pidana perdagangan orang," kata dia.

Temuan lanjutannya kata dia, masih ada APH yang hanya memahami bawa unsur proses itu hanya berupa tindakan rekrutmen seseorang untuk dieksploitasi.

Padahal kata dia, ada banyak proses, termasuk penampungan, pemindahan, bahkan sesederhana penerimaan.

"Tapi penegak hukum itu hanya mengamini itu bahwa itu hanya proses rekrutmen, lalu harus ada pemindahan orang padahal tidak harus," kata dia.

Baca juga: Mahfud MD: Sudah Ada 5 Oknum Pejabat Tersangka TPPO

Lalu kemudian, aparat penegak hukum kata Maidina, masih menemukan kesulitan untuk menjelaskan perbedaan TPPO dengan terjadinya bentuk eksploitasi lain.

Hal itu seperti kerja paksa, eksploitasi kerja migran, eksploitasi seksual dan penyelundupan manusia.

Kemudian, APH dalam temuan ICJR mayoritas menyatakan belum pernah ada penerapan penanganan perkara TPPO dengan bentuk kerja paksa di wilayah Indonesia.

Dengan adanya anggapan ini, Maidina meyakini kalau seolah-olah TPPO bentuknya hanya untuk pekerja migran atau hanya untuk kerja di luar negeri.

"Padahal di lingkup domestik kalau dia ada unsur paksa kalau ada unsur prosesnya dan eksploitasi nya maka sebenarnya dia bisa didefinisikan sebagai tindak pidana perdagangan orang," kata dia.

"Ternyata APH belum pernah menangani TPPO dalam lingkup yang terjadi di wilayah Indonesia untuk kerja paksa ataupun eksploitasi kerja," tuturnya.

Di akhir, APH kata Maidina, menilai masih sulit untuk menjerat pelakutindak kejahatan yang terorganisir dan transnasional.

Kata dia, profil pelaku yang mayoritas disebutkan adalah daftar pencarian orang (DPO), yang putus atau tidak bisa ditrack peranannya.

Atas hal itu kondisi tersebut yang menjadi pengajuan APH menjadi sulit untuk melalukan penegakan.

"Misalnya di dalam jawaban disebutkan dia bergantung sama korban, korban tidak kenal dengan pelaku jadi tidak ada penegakan hukum lanjutan, kami juga temukan gitu," ucap Maidina.

Tak cukup disitu, APH juga menyatakan kalau banyak DPO yang disebutkan sebagai pelaku utama. Namun, jaksa tidak punya kewenangan atau follow up untuk menindaklanjuti DPO tersebut bisa dijerat.

Alhasil kata dia, ada pelaku utama dari TPPO ini tidak dijerat karena tidak ada kewenangan yang lebih tinggi dalam hal ini jaksa ataupun hakim yang bisa mengenforce bahwa si DPO itu juga dijerat secara pidana.

"Ini menjadi catatan mendasar kebijakan TPPO dan juga ini secara umum di kejahatan terorganisir di Indonesia," tukas dia.

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
© 2025 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas