Gugat ke MK, Pemohon Minta Seseorang Maju Capres Hanya Boleh 2 Kali
Penggugat meminta membatasi kesempatan seseorang maju sebagai calon presiden dan wakil presiden (capres-cawapres) hanya 2 kali seumur hidup.
Penulis: Fersianus Waku
Editor: Arif Fajar Nasucha
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Fersianus Waku
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Gugatan atau uji materi Pasal 169 huruf n Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu dilayangkan seorang warga bernama Gulfino Guevarrato (33) kepada Mahkamah Konstitusi (MK) pada Senin (21/8/2023).
Kuasa hukum penggugat, Donny Tri Istiqomah mengatakan meminta membatasi kesempatan seseorang maju sebagai calon presiden dan wakil presiden (capres-cawapres) hanya 2 kali seumur hidup.
Menurut Donny, tidak adanya batasan warga negara untuk maju Pilpres tentu akan melanggar hak asasi manusia (HAM) warga negara lainnya.
Dia mengatakan pihaknya merasa dirugikan secara konstitusional akibat Pasal 169 huruf n UU Pemilu yang tidak mengatur hal tersebut.
"Bahwa Pasal 169 huruf n UU Pemilu terkait syarat calon presiden dan wakil presiden menyatakan belum pernah menjabat sebagai presiden atau wakil presiden selama dua kali masa jabatan dalam jabatan yang sama," kata Donny dalam jumpa pers di kawasan Cikini, Menteng, Jakarta, Senin (21/8/2023).
"Bahwa pembatasan dalam Pasal 169 huruf n UU Pemilu belum memberikan pembatasan yang dapat melindungi hak konstitusional pemohon secara utuh, khususnya hak untuk memperoleh penghormatan hak asasi manusia dari orang lain dalam tertib kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara sebagai bagian dari hak kolektif warga negara yang diatur pada Pasal 22J ayat (1) UUD NRI 1945."
"Sebab yang dibatasi hanya tentang jumlah berapa kali seorang warga negara dapat menjabat sebagai presiden dan wakil presiden, belum ikut membatasi tentang berapa kali seorang warga negara dapat mencalonkan dirinya sebagai calon Presiden dan Wakil Presiden," ujar Donny.
Baca juga: Batas Usia Calon Presiden Digugat, Minta MK Atur Umur Maksimal Capres 65 Tahun
Donny menilai perlunya pembatasan pencalonan presiden dan wakil presiden dalam rangka melindungi hak konstitusional warga negara.
Setiap calon presiden dan wakil presiden menggunakan etika politik dan sifat kenegarawanan dalam pencalonannya, di mana apabila yang bersangkutan telah mencalonkan dirinya sebagai calon presiden atau wakil presiden sebanyak dua kali dan apabila tetap tidak terpilih, seharusnya yang bersangkutan secara etik tidak mencalonkan dirinya lagi pada Pemilu berikutnya.
"Hal ini untuk memberikan kesempatan kepada pemohon dan warga negara lainnya yang belum pernah mencalonkan diri," ujar Donny.
Dia menilai hal ini pernah terjadi dalam praktik. Etika politik, dan sifat kenegarawanan pada pencalonan Presiden dan Wakil Presiden tersebut pernah ditunjukkan oleh Hillary Clinton pada Pemilihan Presiden Amerika Serikat.
Di mana awalnya Clinton kalah melawan Barack Obama dalam konvensi Partai Demokrat 2007. Lalu pada Pemilihan Presiden 2016, Clinton kembali kalah melawan Donald Trump.
Menghadapi dua kali kekalahan tersebut, Hillary Clinton tidak mencalonkan dirinya pada Pilpres berikutnya dan memberikan tersebut kepada Joe Biden. Contoh praktik etika politik sifat kenegarawanan demikian juga pernah terjadi di Indonesia.
Hal itu ditunjukkan Megawati Soekarnoputri setelah mengikuti dua kali Pilpres pada Pemilu 2004 dan Pemilu 2009. Megawati lalu memutuskan untuk tidak lagi mencalonkan dirinya pada Pemilu berikutnya.
Baca juga: Seorang Advokat Kota Malang Minta MK Atur Batas Usia Maksimal Capres-Cawapres 70 Tahun
"Suatu keputusan dan sifat kenegarawanan yang patut dipuji dan dibanggakan," kata dia.
Namun, karena etika politik dan sifat kenegarawanan dalam pencalonan presiden dan wakil presiden saat ini belum diatur secara tegas ke dalam sebuah norma, maka calon dapat secara bebas menggunakan haknya berkali-kali di Pilpres.
Pihaknya menuntut Pasal 169 huruf n UU Pemilu harus membatasi pencalonan presiden dan wakil presiden paling banyak dua kali. Apabila tidak, Donny menyatakan kliennya sebagai pemohon mengalami kerugian konstitusional.
"Di mana pemohon akan sulit menggunakan haknya untuk mencalonkan diri sebagai calon Presiden karena warga negara lainnya masih bisa menggunakan haknya untuk mencalonkan diri," ungkap Donny.