Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
DOWNLOAD
Tribun

Praktisi Hukum: Pancasila Bukan Hanya Dasar Negara Tapi Sumber dari Segala Sumber Hukum

Praktisi Hukum Agus Widjajanto menyatakan bahwa untuk bisa memahami dan mengetahui sistem Ketatanegaraan sebuah Bangsa

Penulis: Chaerul Umam
Editor: Wahyu Aji
zoom-in Praktisi Hukum: Pancasila Bukan Hanya Dasar Negara Tapi Sumber dari Segala Sumber Hukum
Tribunnews.com/Chaerul Umam
Praktisi hukum senior Agus Widjajanto. 

Laporan Wartawan Tribunnews.com, Chaerul Umam

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Praktisi Hukum Agus Widjajanto menyatakan bahwa untuk bisa memahami dan mengetahui sistem Ketatanegaraan sebuah Bangsa, maka harus mempelajari sejarah dan latar belakang terbentuknya megara. 

Baik dari perspektif kultur budaya dan sosial politik yang berurat berakar dari Bangsa tersebut secara sosiologis.

Demikian halnya Indonesia.

Hal yang harus dipahami oleh generasi muda, dengan menelisik ke belakang sebelum Proklamasi Kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945, saat itu founding father bangsa ini memanfaatkan kekosongan kekuasaan dan perubahan geo politik kawasan dan dunia. 

"Setelah Pemerintahan Jepang menyerah pada Sekutu Amerika Serikat, pimpinan Tertinggi Militer Jepang di Asia Tenggara telah membentuk BPUPKI pada 1 Maret 1945," terang Agus dalam keterangannya kepada wartawan, Senin (28/8/2023).

Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) atau Docuritsu Junbi Cosakai kemudian diresmikan penguasa Jepang di Hindia Belanda pada 29 April 1945. 

Berita Rekomendasi

Tugas BPUPKI adalah mempelajari dan menyelidiki hal-hal penting menyangkut politik, tata pemerintahan, ekonomi dan lainya yang diperlukan untuk persiapan Kemerdekaan Hindia Belanda jadi sebuah Negara. 

BPUPKI tercatat melaksanakan sidang dua kali. Pertama pada 29 Mei hingga 1 Juni dengan menghasilkan rumusan Dasar Negara yang berupa pandangan Umum.

Dimana falsafah Negara diusulkan oleh Moh Yamin pada 29 Mei 1945, Soepomo pada 31 Mei 1945 dan Soekarno pada 1 Juni 1945. 

Agus menuturkan, dalam pidato falsafah Negara itu Soekarno menjabarkan nilai-nilai luhur dari Bangsa ini sejak ratusan tahun yang merupakan Bangsa yang berbudaya. 

Soekarno merujuknya dari Kitab Negara Kertagama dan Sutasoma serta ajaran leluhur yang tidak tertulis dari budaya bangsa yang di kenal dengan Sila-Sila Pancasila. 

"Nilai-nilai luhur bangsa ini dikemudian hari, setelah kemerdekaan, dibuat sebagai Dasar Negara yaitu Pancasila," ujar lulusan Magister Hukum Universitas Kristen Indonesia (UKI) tersesebut. 

Kedua, BPUPKI menggelar sidang pada 10 - 17 Juli 1945 dengan membahas tentang Rancangan Undang Undang Dasar (UUD) termasuk pembukaannya yang memuat 

Dasar Negara dan arah politik Indonesia. Dalam membentuk rancangan UUD tersebut dibentuk panitia perancang UUD yang diketuai oleh Soekarno. 

"Belajar dari sejarah, saya selalu katakan antara Pancasila sebagai Dasar Negara dan UUD sebagai Hukum Dasar dan kontitusi tertulis adalah satu dimana keduanya tidak bisa dipisahkan dan merupakan hubungan integral saling terkait dan saling mengisi, seperti suami istri dalam rumah tangga," ujarnya.

Baca Selanjutnya: Praktisi hukum sebut cita cita reformasi justru menjadi deformasi

Disebutkan Agus, dari awal desain besar Negara ini didesain dan diilhami dari Pemerintahan Desa Adat atau desa-desa pada jaman itu bersifat otonom. 

Desa yang mempunyai perangkat pemerintahan dalam menentukan pemimpinnya berdasarkan keputusan bersama melalui Rembug Desa atau musyawarah tokoh-tokoh perwakilan desa.

Desain besar kemudian dijabarkan dalam UUD yang disahkan pada 18 Agustus 1945 atau sehari setelah Proklamasi menjadi Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR). 

Lembaga Tinggi Negara ini adalah pengejawantahan dari suara rakyat seluruh Negara yang dalam paham demokrasi disebut sebagai Vox Populi Vox Dei (Suara Rakyat adalah Suara Tuhan).

Keberadaan MPR RI, tambah Agus Widjajanto, oleh para Pendiri Bangsa dalam UUD 1945 ditempatkan paling terhormat sebagaimana Pasal 1 ayat 2 bahwa 'Kedaulatan adalah di tangan takyat dan dilaksanakan sepenuhnya oleh MPR '. Pasal 1 ayat 2 tersebut sejalan dan selaras dengan Sila ke 4 dari Pancasila sebagai Dasar Negara bahwa 'Kerakyatan yang dipimpin oleh Hikmat, kebijaksanaan dalam Permusyawaratan Perwakilan'. 

"Presiden Ke-2 Republik Indonesia, Jenderal Besar TNI HM Soeharto selalu menyebut bahwa implementasi dari Pancasila yaitu Eka Prasetya Panca Karsa," ucapnya. 

Calon mahasiswa doktor hukum Universitas Padjajaran itu mengatakan, Eka Prasetya Panca Karsa digali dan diilhami dari falsafah huruf Honocoroko yang merupakan ajaran luhur dari para leluhur. 

Ajaran ini menekankan pentingnya memahami dan menemukan jati diri bangsa, sehingga pada gilirannya akan memahami karakter bangsa ini. 

"Oleh sebab itu, Pancasila bukan hanya sebagai Dasar Negara saja tapi juga falsafah dan pandangan hidup bangsa serta sumber hukum dari segala hukum bangsa ini," ucapnya.

Lebih lanjut, pria kelahiran Kudus Jawa Tengah itu menyatakan, satu diantara implementasi Pancasila pada era Orde Baru adalah keterwakilan utusan daerah dan utusan golongan sebagai Anggota DPR RI. 

Kemudian urusan daerah diisi oleh para kepala daerah yang kebanyakan diangkat langsung dari kalangan militer sebagai konsekwensi adanya Dwi Fungsi ABRI dalam politik saat itu. 

"Memang kurang demokratis, tetapi akan menjadi lebih kurang demokratis jika keberadaan MPR RI dikebiri, dihilangkan peran dan fungsinya seperti saat ini," katanya. 

Meminjam istilah Guru Besar Tata Negara Unpad, Prof Gede Panca Astawa, keberadaan MPR RI saat ini diibaratkan layaknya orang yang tengah duduk di kursi dan digigit tengu (kutu).

Penyelesaiannya, bukan mencari tengu namun justru menghancurkan dan membakar kursinya. Harusnya, implementasi kebijakannya yang dibangun kembali dalam struktur organ MPR-nya, bukan Lembaga Tertinggi-nya. 

Dari situlah sebenarnya masalah demi masalah bergulir yang berakibat krisis multi dimensi dari pada kondisi politik terjadi dan itu dirasakan langsung dampaknya oleh seluruh rakyat Indonesia.

Baca Selanjutnya: Praktisi hukum tegaskan pancasila sebagai dasar falsafah negara tak perlu dipertanyakan lagi

"Jangan sekalikali kita melupakan Sejarah Bangsa ini. Kita harus sadar telah melakukan kesalahan dengan merubah desain besar awal yang dibangun oleh para pendiri Bangsa. Mendesain ulang yang sadar maupun tidak, berkiblat pada desain Bangsa lain bukan dari Budaya Bangsa sendiri," pungkas Agus.

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Klik Di Sini!
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
© 2025 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas