Mendikbudristek akan Hapus Skripsi, Tesis, dan Disertasi, Ini Alternatif Penggantinya?
Mendikbudristek Nadiem Makarim tidak menjadikan skripsi sebagai sebagai satu-satunya syarat kelulusan bagi mahasiswa perguruan tinggi.
Editor: Hasanudin Aco
Nadiem mengatakan tidak semua prodi atau jurusan bisa mengukur kompetensi mahasiswanya hanya dari skripsi saja.
Misalnya, prodi vokasi akan lebih cocok dengan tugas akhir seperti proyek atau profile dan bentuk lainnya.
"Misalnya seperti prodi dalam vokasi, apakah jika mahasiswanya menulis karya ilmiah yang terpublis secara scientific adalah cara tepat padahal kompetensi dia technical skill," tambah Nadiem.
Pun sama halnya bagi perguruan tinggi atau prodi akademik, tak semua mahasiswa bisa diukur dengan cara yang sama.
Ia mengatakan untuk keputusan bebas skripsi, tesis atau disertasi diambil oleh masing-masing Kepala Program Studi atau Kaprodi. Bukan lagi diambil oleh Kemendikbud Ristek.
"Kaprodi bisa menentukan apakah tugas akhir skripsi atau bentuk lain sudah cocok untuk mahasiswa atau bagaimana, mereka yang menentukan," kata dia.
Meski di satu sisi bila ada prodi yang memang mengukur kompetensi mahasiswanya melalui skripsi, maka hal itu bisa dilakukan sesuai kebutuhan kompetensi yang ada.
Skripsi bisa dihapus
Namun untuk program studi S1 atau sarjana terapan yang sudah menerapkan kurikulum berbasis proyek atau bentuk lainnya yang sejenis, maka tugas akhir dapat dihapus atau tidak lagi bersifat wajib.
Jika pada saat proses akreditasi prodi kemudian masalah skripsi ini menjadi perhatian oleh Badan Akreditasi, kampus boleh membawa argumennya sendiri apabila waktu kuliah mahasiswa selama 3,5 tahun sudah sangat tepat untuk menggantikan skripsi.
"Saat proses akreditasi perguruan tinggi bisa berargumen apabila kompetensi anak-anak selama 3,5 tahun itu sudah sama dengan skripsi dan itu bisa dibuktikan selama mereka kuliah di tahun-tahun tersebut," tambahnya.
Ia mencontohkan program Kampus Merdeka dan Kedaireka yang diluncurkan pada 2020. Program ini berhasil mengajak ratusan ribu mahasiswa serta dosen bisa bergerak luas dan adaptif.
Sehingga dengan bebasnya tugas akhir bagi S1 dan kelonggaran jurnal bagi S2 maupun S3 bisa sejalan dengan program yang ada.
"Serta bisa mendorong perguruan tinggi bebas menjalankan Kampus Merdeka dan mengembangkan berbagai inovasi sesuai pelaksanaan Tri Dharma Perguruan Tinggi," pungkasnya.