Harga Beras Tinggi, Ketum Badko HMI Jabodetabeka-Banten: Pemerintah Harus Segera Atasi
Kenaikan harga beras mempengaruhi dampak yang mengganggu pelayanan publik, inflasi hingga stabilitas keamanan politik menjelang tahun pemilu
Penulis: Hasiolan Eko P Gultom
Editor: Eko Sutriyanto
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Hasiolan Eko P
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Ketua Umum Badan Koordinasi Himpunan Mahasiswa Islam (Badko HMI) Jabodetabeka-Banten, M. Adhiya Muzakki meminta pemerintah untuk mengatasi permasalahan kenaikan harga beras yang berkepanjangan.
Adhiya menilai harga beras premium dan medium masih di atas Harga Eceran Tertinggi (HET) pada saat ini.
Adhiya menambahkan, kenaikan harga beras ini mampu mempengaruhi dampak yang mengganggu pelayanan publik, inflasi hingga stabilitas keamanan politik menjelang tahun pemilu 2024.
“Harga beras yang tinggi dapat berpotensi memunculkan dampak yang lebih serius, antara lain pelayanan publik terganggu, inflasi, meningkatnya angkat kemiskinan, stabilitas sosial dan stabilitas keamanan politik menjelang tahun pemilu 2024,” ujar Adhiya saat dikonfirmasi wartawan, Rabu (20/9/2023).
Seharusnya pemerintah dalam hal ini Menteri Perdagangan dan Kepala Bulog agar lebih serius dalam mengatasi persoalan ini.
Baca juga: Terpilih Sebagai Ketum HMI Badko Jabodetabeka-Banten, Adhiya Muzakki: Momentum Lebih Baik
“Seriuslah dalam menyikapi harga ini peningkatan harga beras ini, dan satu suara oleh pemerintah itu dalam mengatasi penyebab, dalam mendefinisikan penyebab dari semua ini," ucapnya.
Selain itu, masih kata Adhiya, melihat upaya pemerintah melalui Perum Bulog yang memiliki Cadangan Beras Pemerintah (CBP) sejumlah 1,6 juta ton, dan tengah menunggu beras hasil impor sebesar 400 ribu ton, Badko HMI Jabodetabeka-Banten memiliki catatan dengan aktivitas tersebut.
Menurut Adhiya, jumlah pasokan tersebut belum dapat dipastikan untuk mencukupi dan mengantisipasi kebutuhan konsumsi dalam negeri hingga awal tahun, apalagi kondisi el nino yang masih terus melanda Indonesia.
Di sisi lain, berdasarkan kajiannya, Adhiya beserta pihaknya menemukan dugaan persaingan tidak sehat yang dilakukan swasta.
Adhiya menilai pemerintah belum serius dalam mengendalikan harga beras di pasar. Bahkan, ia menilai pemerintah belum melakukan upaya yang mengarah pada menurunnya harga beras di pasar.
"Kita belum melihat tindakan pemerintah ke arah situ. Ini harus dikaji dampaknya bagi penggilingan bagaimana, dampaknya bagi konsumen bagaimana," tambah Adhiya.
Sementara itu, upaya pemerintah menstabilkan harga beras lewat kebijakan bansos beras juga dinilai tak berdampak.
"Sejak Agustus pemerintah sudah memberikan bantuan pangan. Kita ukur nih, tetap liar tuh harganya meski sudah ada bantuan beras, ternyata harga naik terus," lanjutnya.
Oleh sebab itu, Adhiya meminta agar pemerintah meninjau kembali peran Bulog dalam rantai pasok beras untuk memastikan efektivitasnya dan menciptakan pasar beras yang tidak rentan terhadap fluktuasi harga.
"Salah satu kesulitan yang dihadapi Bulog adalah harga pembelian pemerintah (HPP) yang kurang fleksibel dan tidak relevan dengan harga pasar," kata Adhiya.
Keterlibatan Bulog terlibat di tingkat hulu dan hilir dalam rantai pasok beras ditetapkan oleh Peraturan Presiden Nomor 48 Tahun 2016.
Masalah muncul karena di tingkat hulu, Bulog harus melakukan pengadaan beras dari petani.
Tidak seperti pihak swasta, Bulog harus membeli beras dengan semua tingkat kualitas dan menyimpan stok penyangga sebagai cadangan nasional di gudangnya.
"Bulog menggunakan biaya pemerintah saat bersaing dengan pihak swasta dalam pengadaan beras. Penugasan untuk menjaga stok nasional memunculkan biaya tambahan yang tidak sedikit."
Adhiya beserta pihaknya meminta kepada Presiden Jokowi agar Menteri Perdagangan dan Kepala Bulog untuk dievaluasi mengatasi persoalan ini.
"Jangan sampai masalah ijin berlarut larut, karena akan mengganggu stabilitas yang lain. Keduanya harus segera dipanggil dan dievaluasi untuk menyelesaikan persoalan ini," katanya.