Kesaksian Eks Tapol 1965: Disetrum, Dilempar Kursi Saat Interogasi Hingga Kelaparan Nyaris Mati
Setelah meletusnya peristiwa Gerakan 30 September 1965 terjadi juga dampak ikutan yang lebih kelam dan mengerikan.
Editor: Wahyu Aji
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Setelah meletusnya peristiwa Gerakan 30 September 1965 terjadi juga dampak ikutan yang lebih kelam dan mengerikan.
Saat itu terjadi peristiwa pelanggaran HAM berat terhadap mereka yang dituduh sebagai anggota maupun terlibat dengan Partai Komunis Indonesia (PKI).
Akibatnya, lebih dari dua juta orang mengalami penangkapan sewenang-wenang, penahanan tanpa proses hukum, penyiksaan, perkosaan, kekerasan seksual, kerja paksa, pembunuhan, penghilangan paksa, wajib lapor dan lain sebagainya.
Dari hasil penyelidikan Komnas HAM, sekitar 32.774 orang diketahui telah hilang dan beberapa tempat diketahui menjadi lokasi pembantaian para korban. Sementara beberapa riset menyatakan bahwa korban lebih dari 2 juta orang.
Hal itulah yang dialami oleh Sastrawan yang juga Penulis yang sempat aktif di Lembaga Kebudayaan Rakyat(Lekra), Putu Oka Sukanta.
Putu menceritakan pada tahun 1966 saat operasi kalong di kediamannya Jalan Mangga Besar 101 dirinya didatangi anggota militer.
Saat itu ada juga lima orang seniman yang juga menumpang menginap di rumahnya.
"Saya diambil bersama seniman-seniman lain yang tidak punya rumah numpang di tempat saya berlima kemudian sampai di Kodam Air Mancur saya diperiksa oleh namanya Jimmy Bong itu katanya mahasiswa enggak tahu mahasiswa perkumpulan dari mana ya dia periksa saya siapa yang datang ke rumah saya tanyanya berputar-putar disitu saja. Tetapi tidak tentang tulisan saya dibicarakan saya senang kalau mereka membicarakan tulisan saya," ujar Putu Oka saat ditemui Tribun di kediamannya kawasan Jakarta Timur beberapa waktu lalu.
Anehnya saat Putu Oka dibawa ke markas Kodam justru anggota militer membawa barang bukti yang tidak lazim. Mereka lanjut Putu Oka membawa sabun, obat nyamuk.
"Semua barang yang saya punya saat buka warung depan rumah dibawa, dia bilang ini sebagai barang bukti dan tidak kembali semuanya. Jadi merampok barang justru mereka," kata Putu Oka.
Sastrawan asal Bali ini memang diketahui selalu menulis kenyataan kehidupan masyarakat yang ada di sekitar rumah hidupnya di Bali.
Putu Oka kerap menulis tentang kehidupan masyarakat miskin, petani, nelayan, tukang tikar penari perempuan miskin.
Bermula dari tulisan itulah Putu Oka kemudian dipertemukan dengan seniman dan sastrawan lain sampai akhirnya bertemu dengan Lekra.
"Jadi hal-hal itu ternyata kemudian seolah-olah mendorong saya bertemu dengan seniman-seniman lain yang juga mengangkat masalah kehidupan sehari hari masyarakat. Tidak ada orang yang mempertemukan secara resmi saya dengan Lekra jadi tulisan saya lah yang mempertemukan saya dengan Lekra," ujarnya.
Baca juga: Ilham Aidit Sebut Persekusi dan Stigmatisasi Eks PKI Masih Terjadi Hingga Saat Ini
Penulis buku bertajuk 'Merajut Harkat' ini ditahan selama 10 tahun di dalam penjara.
Rentang 10 tahun tersebut ia kerap berpindah-pindah tahanan mulai dari Salemba hingga ke Tangerang.
Kehidupannya di dalam penjara pun sangat sengsara. Ia bersama tahanan lain kelaparan luar biasa.
Beruntung banyak keluarga tahanan yang membawakan makanan serta pakaian saat menjenguk sehingga dirinya masih bisa tetap hidup hingga saat ini.
"Andaikata kami para tahanan ini hanya makan ransum baik di kodim maupun penjara cuma enam bulan tahan, mati kemudian. Oleh karena itu penghormatan kepada keluarga tahanan yang mengirim kami makanan, pakaian harus dijunjung tinggi. Dari sabun, sikat, pakaian, bohlam untuk di sel itu semua, lalu ada sapu lidi datangnya dari keluarga, nggak ada yang dibiayai negara," kata Putu Oka.
Aktivis yang pernah aktif dalam penanggulangan HIV dan AIDS ini juga kerap mendapat penyiksaan.
Menurutnya penyiksaan biasanya terjadi saat proses interogasi.
Para tahanan yang sedang nyenyak tidur dan bermimpi indah mendadak dibangunkan.
"Interogasi sama dengan penyiksaan. Tengah malam saat tidur nyenyak diinterogasi kalau salah ya sedikit salah langsung disiksa dibuka pakaiannya disuruh berdiri hadap tembok di bawah dipasang api rokok. Ada yang disetrum ada tiba-tiba kursi dilempar ke badannya dia tengkurap saya sudah dipikir mati saat itu oleh hansip tahanan," kata Putu Oka. (Willy Widianto)