Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribun

Tak Beralasan Hukum, MK Tolak Gugatan Uji Formil UU Ciptaker yang Diajukan 15 Serikat Pekerja

Mahkamah Konstitusi (MK) memutus menolak gugatan Omnibus Law UU Cipta Kerja dalam perkara nomor 54/PUU-XXI/2023 yang dimohonkan oleh 15 kelompok buruh

Penulis: Danang Triatmojo
Editor: Wahyu Aji
zoom-in Tak Beralasan Hukum, MK Tolak Gugatan Uji Formil UU Ciptaker yang Diajukan 15 Serikat Pekerja
Tribunnews.com/Rahmat W. Nugraha
ILUSTRASI Massa aksi buruh dari KASBI membakar ban di kawasan Bunderan Patung Kuda, Jakarta Pusat, Senin (2/10/2023). 

Laporan Wartawan Tribunnews.com, Danang Triatmojo

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Mahkamah Konstitusi (MK) memutus menolak gugatan Omnibus Law UU Cipta Kerja dalam perkara nomor 54/PUU-XXI/2023 yang dimohonkan oleh 15 kelompok serikat pekerja.

Dalam konklusinya, MK menilai permohonan para Pemohon tidak beralasan menurut hukum untuk seluruhnya.

"Menolak permohonan para Pemohon untuk seluruhnya," kata Ketua MK Anwar Usman dalam sidang di Gedung MK, Jalan Medan Merdeka Barat, Jakarta Pusat, Senin (2/10/2023).

Gugatan ini dimohonkan oleh FKSPN, FSPFK KSPSI, FSPKED KSPSI, FSPLEM SPSI, FSPPEK KSPSI, FSP Pelita Mandiri Kalbar, FSPPP, KBMI, KSPSI, PPMI, SBSI '92, FSP RTMM, dan ASPI.

Dalam pertimbangannya soal dalil pengesahan Perppu 2/2022 menjadi undang-undang dilakukan di luar masa sidang DPR, MK menyatakan ketentuan Pasal 22 ayat (1) UUD 1945 merupakan landasan bagi presiden untuk menetapkan Perppu ketika terjadi hal kegentingan yang memaksa.

Perppu kata MK, harus ditindaklanjuti oleh DPR sebagaimana adressat norma Pasal 22 ayat (2) UUD 1945.

Berita Rekomendasi

Selain itu MK menyatakan bahwa sifat situasi kegentingan yang memaksa, maka penetapan Perppu maupun dalam proses persetujuan di DPR tidak relevan untuk melibatkan partisipasi masyarakat yang bermakna. Sehingga persetujuan DPR dalam kerangka menjalankan fungsi pengawasan sejatinya merupakan representasi dari kehendak rakyat.

"Demikian pula baik dalam penetapan Perppu maupun dalam proses persetujuan di DPR, tidak relevan untuk melibatkan partisipasi masyarakat yang bermakna secara luas karena situasi kegentingan yang memaksa, sehingga persetujuan DPR dalam kerangka menjalankan fungsi pengawasan yang sejatinya merupakan representasi dari kehendak rakyat," ucap Hakim Konstitusi Manahan MP Sitompul.

MK juga mengatakan bahwa berdasarkan Pasal 43 ayat (4) angka 2 UU 12/2011 pada pokoknya menyatakan penetapan Perppu menjadi undang-undang tidak perlu disertai dengan naskah akademik.

Sehingga pembentukan undang-undang yang berasal dari Perppu hanya terdiri dari tahap penyusunan, pembahasan, persetujuan dan pengundangan tanpa tahap perencanaan.

"Berdasarkan kerangka hukum tersebut maka rangkaian tahapan yang harus ditempuh dalam pembentukan undang-undang yang berasal dari Perppu adalah hanya terdiri dari tahap penyusunan, pembahasan, persetujuan dan pengundangan tanpa tahap perencanaan sebagaimana tahapan pada undang-undang biasa," lanjutnya.

Baca juga: Kawal Putusan Uji Formil UU Cipta Kerja di MK, Massa Aksi Buruh Bakar Ban di Bundaran Patung Kuda

Sementara itu soal dalil penetapan Perppu menjadi UU dilakukan DPR di luar masa sidang saat Perppu diajukan, MK berpendapat Perppu punya beberapa perbedaan antara satu dengan lainnya karena pertimbangan kondisi krisis atau situasi genting.

MK kemudian mencontohkan kondisi kegentingan saat pandemi Covid-19 yang bukan hanya membahayakan kesehatan dan keselamatan jiwa, tapi juga bahaya bagi perekonomian nasional. Sehingga diperlukan tindakan luar biasa untuk penanganannya.

Halaman
12
Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
© 2024 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas