Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribun

Tolak Gugatan UU Cipta Kerja, MK Dinilai Tak Indahkan Putusan Terdahulu

Feri Amsari menyoroti putusan Mahkamah Konstitusi (MK) menolak lima gugatan buruh dan menyatakan Undang-Undang Cipta Kerja (Ciptaker) tetap berlaku.

Penulis: Ibriza Fasti Ifhami
Editor: Adi Suhendi
zoom-in Tolak Gugatan UU Cipta Kerja, MK Dinilai Tak Indahkan Putusan Terdahulu
Tribunnews.com/Rahmat W Nugraha
Pakar Hukum Tata Negara dari Universitas Andalas Feri Amsari. 

Laporan wartawan Tribunnews, Ibriza Fasti Ifhami

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pakar Hukum Tata Negara Universitas Andalas, Feri Amsari menyoroti putusan Mahkamah Konstitusi (MK) menolak lima gugatan buruh dan menyatakan Undang-Undang Cipta Kerja (Ciptaker) tetap berlaku.

Feri Amsari menilai, putusan MK telah mengabaikan Putusan Nomor 91/PUU-XVIII/2020, yang memerintahkan agar dilakukan perbaikan Undang-Undang (UU) Nomor 11 Tahun 2020 tentang cipta kerja.

Menurutnya, MK seharusnya tidak menolak gugatan UU cipta kerja, tapi menguatkan Putusan 91/PUU-XVIII/2020.

"Di mana diperintahkan oleh Mahkamah, diberikan waktu 2 tahun untuk perbaikan UU Cipta Kerja. Faktanya tidak ada perbaikan, sehingga pembentuk UU mengabaikan putusan MK itu, dan harusnya MK menegakkan putusannya itu, memerintahkan agar betul-betul dilakukan perbaikan UU," kata Feri, saat dihubungi Tribunnews.com, Rabu (4/10/2023).

Baca juga: YLBHI: MK Tolak Gugatan UU CIpta Kerja Bagian dari Orkestrasi Politik Rezim Jokowi

Feri kemudian menyoroti keterkaitan putusan ini dengan pemberhentian Hakim Aswanto yang kini digantikan Hakim Konstitusi M Guntur Hamzah.

"Tapi kan DPR dan pemerintah bermain dengan cara politis, di mana tiba-tiba dari lima hakim yang mayoritas menyatakan inkonstitusional UU Cipta Kerja dan harus diperbaiki, satu orang tiba-tiba diberhentikan begitu saja tanpa ada alasan, dan digantikan dengan hakim yang baru tanpa proses yang layak ya," ucap Feri.

Berita Rekomendasi

"Tentu saja komposisi hakim jadi berubah. Yang awalnya 5-4 menyatakan perbaikan, cacat formil. Lalu digantikan satu, sehingga kedudukan berubah menjadi 5-4 untuk orang yang menyatakan UU Cipta Kerja itu layak secara formil," sambungnya.

Baca juga: Jadi Duka Mendalam, Tiga Tahun Buruh Berjuang Tolak UU Cipta Kerja Dikandaskan Mahkamah Konstitusi

Sehingga, Feri menduga adanya permainan hukum secara politis dalam pengambilan keputusan MK terhadap gugatan uji formil UU Cipta Kerja.

"Di sini saja sudah terlihat bahwa ada permainan hukum secara politis, ada intervensi kepada kekuasaan kehakiman, mengubah komposisi hakim," ucapnya.

Lebih lanjut, ia menilai ada kejanggalan pada putusan hakim MK yang mayoritas menolak gugatan UU Ciptaker.

Hal ini terkait pembentukan UU Nomor 6 Tahun 2023 yang cikal bakalnya dari Perppu Nomor 2 Tahun 2022.

"Semua orang tahu Perppu bukanlah perbaikan Undang-Undang, perppu adalah UU dalam keadaan darurat, hal ihwal kegentingan memaksa yang menurut saya jauh dari konsep perppu sesungguhnya," kata Feri.

"Di sini pemerintah dan DPR betul-betul memaksakan berlakunya UU Cipta Kerja. Bahkan menggunakan kekuasaan Mahkamah Konstitusi sebagai peradilan," tuturnya.

Dalam putusan Senin (2/10/2023) kemarin, terlihat komposisi Hakim MK yang menyatakan UU Ciptaker konstitusional ialah orang yang sama dengan perkara sebelumnya pada Putusan MK Nomor 91/PUU-XVIII/2020.

Mereka adalah Anwar Usman, Arif Hidayat, Daniel Yusmic, Manahan MP Sitompul ditambah dengan Hakim Guntur Hamzah. Nama terakhir ini diangkat yang menggantikan hakim Aswanto diganti di tengah jalan.

Sedangkan empat hakim lainnya memberikan dissenting opinion atau pendapat berbeda. Dalam Putusan MK Nomor 91/PUU-XVIII/2020 bersama Aswanto mereka menyatakan UU Ciptaker inkonstitusional. Mereka adalah Wahiduddin Adams, Saldi Isra, Enny Nurbaningsih, dan Suhartoyo.

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
© 2024 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas