Kasus Perceraian di Indonesia Terus Melonjak, Kepala BKKBN: 'Toxic People' Penyebabnya
Kepala BKKBN soroti tingginya angka perceraian di Indonesia, menurutnya penyebab utama ialah toxic people.
Editor: Theresia Felisiani
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Kepala Badan Kependudukan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) Dr. (H.C) dr. Hasto Wardoyo, Sp. OG (K) menyoroti tingginya angka perceraian di Indonesia. Menurut Dokter Hasto, penyebab utama tingginya angka perceraian itu karena toxic people.
Hal tersebut disampaikan Dokter Hasto saat menjadi narasumber pada kegiatan Konsolidasi Nasional Badan Kontak Majelis Taklim (BKMT) yang digelar di Asrama Haji, Jakarta Timur pada Jumat.(27/10/2023) kemarin.
Dokter Hasto mengatakan bahwa sejak tahun 2015 angka perceraian meningkat pesat.
Pada tahun 2021 jumlahnya mencapai 581 ribu keluarga yang bercerai, sedangkan jumlah pernikahan setahun 1,9 juta.
"Saat ini, (angka) perceraian tinggi karena banyak keluarga asalnya adalah orang toxic bertemu orang waras, orang waras bertemu orang toxic atau orang toxic bertemu orang toxic akhirnya berkelahi terus dan terjadilah perceraian,” kata dr. Hasto.
Menurut Dokter Hasto, bahwa mendidik keluarga cukup dengan asah, asih dan asuh.
"Asah diajari ilmu agama yang baik, asih dikasihani dengan sebaik baiknya, asuh diimunisasi kemudian diberikan perlindungan yang baik," kata Dokter Hasto.
Dalam paparan terkait tema Keluarga, Hasto menjelaskan bahwa pembangunan keluarga adalah pondasi utama tercapainya kemajuan bangsa.
BKKBN kemudian mendefinisikan pembangunan keluarga itu adalah untuk mewujudkan keluarga yang berkualitas, yang hidup dalam lingkungan yang sehat. itu pasti harus bisa diwujudkan dengan tujuan meningkatkan kualitas keluarga agar dapat hidup dengan rasa yang aman.
Kemudian caranya banyak sekali dan kebijakannya bagaimana membangun ketahanan keluarga. Indonesia Emas 2045 menjadi tantangan serius sekali karena ada batu loncatannya, tahun 2030 harus terlampaui dengan baik, tidak ada yg kelaparan, tidak ada yg miskin ekstrim, dan stuntingnya seharusnya sudah turun jauh, dan juga pendidikannya harus bagus.
Baca juga: Tak Instan Meniti Karir Bermusik, Delia Septianti Akui Perceraian Momen Terburuk
Di akhir paparannya dr. Hasto menyampaikan pesannya terkait stunting.
“Yang terakhir saya titip stunting, stunting itu pasti pendek, mereka yg tadi terlalu muda, terlalu tua, anemia, bayinya stunting dan bayi stunting itu baru umur 40 tahun sudah central obes sehingga mudah terkena penyakit. Nah makanya stunting itu menjadi momok bagi bangsa karena kemudian pendapatannya orang stunting 20 persen lebih rendah dibandingkan yg tidak stunting, sehingga kalau kita ingin keluar dari middle income trap untuk menuju Indonesia Emas berat sekali, kalau stuntingnya terlalu banyak. Panjang badan penting diukur jangan hanya berat badannya saja, karena banyak yg gemuk ternyata stunting,” ujar dr. Hasto.
“Anak anak kita yang ASInya eksklusif baru dibawah 70%, yang tinggal di rumah tidak layak huni masih 57%, yang makanannya beragam di kota DKI masih jauh lebih banyak dibandingkan di desa-desa, jadi tidak ada protein hewani. Jadi cegah stunting itu harus dengan protein hewani, telur atau lele," lanjut dia.
Juga permasalahan menyusui, kalau ASI nya mau sukses susui lah sesering mungkin. Selama 6 bulan harus sesering mungkin diberi ASI tanpa diberikan makanan yang lain (ASI eksklusif).
"Sempurnakanlah menyusui sampai 24 bulan 1000 Hari Pertama Kehidupan (HPK), karena 96% bayi itu sudah menutup otaknya dan ini sudah diteliti di seluruh dunia, maka itulah pentingnya 1000 HPK”, ungkap dr. Hasto.
Pada kesempatan yang sama hadir juga Ketua Umum Badan Kontak Majelis Taklim (BKMT) Dr. Hj. Syifa Fauzia, M. Art yang menyampaikan laporannya.
Ia mengatakan beberapa tantangan yang ada di daerah masing-masing di seluruh Indonesia, pihaknya dapat bersinergi dengan apa yang akan tentunya dilakukan pemerintah, khususnya BKKBN dan BKMT dan komponen lainnya untuk dapat bisa mencari solusi bersama tentunya dengan kebersamaan kita di BKMT.
“Disini kita berbicara tentang bagaimana stunting, dan gizi buruk serta ibu hamil. Saya sebetulnya sangat sedih jika kita melihat di berbagai daerah, stunting gizi buruk, terutama pada ibu hamil ini menjadi tantangan yang harus dijawab oleh BKMT kalau kita lebih meluaskan program kita selain berdakwah, kita juga bisa melihat masyarakat perempuan dan anak disana. Apakah gizinya sudah terpenuhi, karena memang persoalan stunting ini jangan sampai terjadi apa lagi untuk anggota BKMT, ini harus kita sama-sama selamatkan," ujar Syifa.(Willy Widianto)