25 Tahun Dampingi Korban Kekerasan, Anggota Komnas Perempuan Kerap Diancam dan Diintimidasi
Selain dalam pendampingan, ancaman juga kerap diperoleh dalam memperjuangkan perbaikan payung hukum yang lebih baik bagi perempuan.
Penulis: Ashri Fadilla
Editor: Acos Abdul Qodir
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Ashri Fadilla
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Ancaman dan intimidasi kerap membayangi perjalanan Komisi Nasional Anti-Kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan).
Pernyataan demikian diungkapkan Ketua Komnas Perempuan, Andy Yentriyani saat merefleksi 25 tahun perjalanan lembaga tersebut mendampingi para korban kekerasan.
Selain dalam pendampingan, ancaman juga kerap diperoleh dalam memperjuangkan perbaikan payung hukum yang lebih baik bagi perempuan.
"Dalam memperjuangkan perbaikan payung hukum maupun implemetasinya serta kondisi sosial yang lebih baik bagi perempuan, Komnas Perempuan kerap mendapatkan ancaman," ujar Andy Yentriyani dalam acara Puncak Perayaan 25 Tahun Komnas Perempuan di Jakarta, Rabu (15/11/2023).
Menurut Andy, hal demikian tidaklah asing dialami pihak-pihak yang memperjuangkan hak perempuan. Intimidasi dan stigma kerap mewarnai perjalanan tersebut.
"Ini sbetulnya tidak asing, utamanya bagi rekan-rekan seperjuangan. Sebagai anggota Komnas Perempuan, sama seperti rekan-rekan perempuan pembela HAM, kami tidak imun dari intimidasi dan juga stigma," ujarnya.
Andy pun meminjam istilah yang digunakan jurnalis kawakan, Maria Hartiningsih untuk menggambarkan kerja pejuang hak perempuan seperti Komnas Perempuan, yakni ibarat bekerja di atas bara.
"Bekerja di atas bara. Itu istilah dari rekan perempuan jurnalis, mba Maria Hartiningsih, melukiskan sifat kerja Komnas Perempuan dalam menyikapi tantangan jamannya," katanya.
Baca juga: Nadiem Sebut Kehadiran Satgas PPKS Mendorong Semakin Banyak korban Kekerasan Seksual Berani Melapor
Penggambaran menggunakan istilah tersebut bukan tanpa sebab.
Di zaman kini, tantangan untuk memperjuangkan hak-hak perempuan kian kompleks.
Secara garis besar, Andy membagi tantangan tersebut menjadi empat.
Pertama, politik identitas yang kerap dimanfaatkan untuk kepentingan golongan tertentu.
"Dengan politisasi identitas primordial yang menguat dan isu moralitas yang menjadi cara untuk menggalang dukungan massa," katanya.