Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribun

Setara Institute: Saatnya Ketuk Hati Lembaga Survei dan Memaknai Seruan Pemilu Damai

Menjadi persoalan serius ketika agitasi itu didukung dengan survei dan publikasi survei, yang sebenarnya adalah kampanyekan pasangan capres tertentu.

Editor: Malvyandie Haryadi
zoom-in Setara Institute: Saatnya Ketuk Hati Lembaga Survei dan Memaknai Seruan Pemilu Damai
Tribunnews.com/ Taufik Ismail
Ketua Badan Pengurus SETARA Institute Ismail Hasani. 

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Survei adalah instrumen pengetahuan dan teknologi penyerap aspirasi masyarakat yang sudah sejak lama dipraktikkan dalam negara demokratis, termasuk di Indonesia.

Survei juga telah menghubungkan aspirasi publik yang tersumbat dengan para pengambil kebijakan negara, yang selama ini seringkali barjarak.

Ketua Badan Pengurus SETARA Institute Ismail Hasani, mengatakan, oleh karena itu, survei adalah bentuk kebebasan berekspresi, berpendapat dan kebebasan akademik.

Bahkan jika hasil survei menjadi kontroversi, maka bukan hasil survei yang dikritik.

Kritik, menurutnya, hanya pantas ditujukan pada metodologi survei termasuk soal etika.

“Baik etika pengambilan data, etika menjauhkan diri dari konflik kepentingan, termasuk etika publikasi, yang seringkali berhubungan erat dan menjadi bagian yang paling berbenturan dengan posisi lembaga survei,” ujar Ismail Hasani, dalam keterangannya pada Senin (20/11/2023).

"Hari-hari ini publik disuguhi hasil survei tentang elektabilitas capres dan cawapres yang semakin tidak masuk akal. Menurut Ismail, kita tidak pernah mengetahui posisi lembaga survei, apakah juga merangkap sebagai konsultan politik, juru kampanye yang berlindung di balik kebebasan akademik survei, atau agitator yang ditugasi untuk menggiring opini tentang hal-hal yang dikehendaki oleh pihak yang menugasi," ujarnya.

Berita Rekomendasi

Dalam situasi yang demikian, kata Ismail, maka dirinya menyayangkan materi-materi yang seharusnya tidak dipromosikan karena bertentangan dengan Konstitusi RI, seperti survei jabatan tiga periode di tahun lalu, survei afirmasi atas politik dinasti yang merusak demokrasi, survei afirmasi putusan MK No. 90/PUU-XXI/2023 dan Putusan MKMK, dan lainnya.

“Di tengah keterbatasan pengetahuan publik atas term-term tersebut, pengambilan sampel secara acak, hanya akan menghasilkan afirmasi atas berbagai kehendak-kehendak inkonstitusional, niretika dan merusak demokrasi,” ujar Ismail yang juga dosen Hukum Tata Negara UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta.

Ismail menuturkan, agitasi agenda satu putaran oleh kandidat Pilpres tentu sahih sebagai bagian dari injeksi energi bagi tim kampanye dan pendukung.

Menjadi persoalan serius ketika agitasi itu didukung dengan survei dan publikasi survei, yang sebenarnya adalah kampanyekan pasangan capres dan cawapres tertentu.

Lebih lanjut menurut Ismail, ada dua tujuan tidak etis yang hendak dicapai dari agenda ini:

Pertama, berharap bandwagon effect, agar pemilih mengikuti langkah mayoritas publik yang sudah menentukan pilihan.

Kedua, menyediakan justifikasi akademik-populis, atas kemungkinan tindakan tidak jujur dan segala cara memenangi kontestasi, yang bisa saja dilakukan oleh pihak-pihak tertentu pada semua kandidat.

Halaman
12
Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
×

Ads you may like.

© 2025 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas