VIDEO Soal Prabowo 'Ndasmu Etik', Pakar: Ternyata Topeng Tak Bisa Selalu Digunakan di Politik
"Watak asli yang tidak bisa ditutupi dengan politik modifikasi penampilan ternyata topeng itu tidak bisa selalu digunakan dalam politik," ucapnya.
Editor: Srihandriatmo Malau
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Akhir pekan kemarin heboh viralnya potongan video calon presiden (capres) nomor urut 2, Prabowo Subianto menyebut 'ndasmu etik' dalam acara Rakornas Partai Gerindra, Jumat (15/12/2023), yang digelar tertutup dan hanya berlangsung untuk internal kader partai Gerindra.
Ndas sendiri merupakan istilah dalam bahasa Jawa yang berarti kepala.
Ucapan tersebut dilontarkan Prabowo saat membahas tentang putusan Mahkamah Konstitusi (MK) dan Majelis Kehormatan MK (MKMK) soal batas usia capres-cawapres.
Video Prabowo itu disebut-sebut tengah menyindir capres nomor urut 1 Anies Baswedan.
Sebelumnya saat debat capres perdana pada 12 Desember 2023 lalu Anies Baswedan sempat menanyakan tentang putusan MK kepada Prabowo.
Anies menilai, putusan MK yang meloloskan Gibran sebagai cawapres cacat lantaran melibatkan pelanggaran etika berat Ketua MK Anwar Usman saat itu.
Anwar Usman sendiri merupakan paman dari Gibran dan juga adik ipar dari Presiden Joko Widodo (Jokowi). Kemudian Seusai menghadiri acara relawan di Blitar, Jawa Timur pada Minggu (17/12/2023), Prabowo mengatakan ucapan itu hanya perbincangan biasa yang dilontarkan untuk internal keluarga Gerindra saja.
Dalam program Tribunnews On Focus kali ini membahas terkait sikap Prabowo tersebut dengan Doktor komunikasi politik & Direktur Lembaga Kajian Politik Nusakom Pratama Ari Junaedi.
"Saya juga berlatar orang Jawa, apa yang diucapkan pak Prabowo tidak hanya sekali sebenarnya, kalau kita amati sejak keikutsertaan Pak Prabowo dalam Pilpres di tanah air, di setiap even pilpres selalu mengeluarkan kata-kata yang menurut saya blunder pernyataan ndasmu," ujar pakar komunikasi politik ini dalam wawancara eksklusif Tribunnews On Focus, Senin (18/12/2023).
Menurut Ari, perkataan "ndasmu" tidak pada tempatnya dikeluarkan oleh seorang capres, walaupun itu berlangsung internal dan tertutup.
"Karena kita memilih seorang pemimpin bukan memilih seorang preman."
"Karenanya kita butuh seorang calon pemimpin yang bisa menunjukkan atau memperlihatkan perilaku, ucapan, tindakan yang bisa jadi tauladan," jelasnya.
Dia menyayangkan parkataan "ndasmu" dilontarkan oleh seorang capres karena akan bisa menjadi penilaian tersendiri oleh pemilih pemula, yakni kalangan milenial dan Gen z.
Apalagi selama ini citra gemoy Prabowo sudah menjadi daya tarik tersendiri bagi gen Z.
"Ini kan memperlihatkan tabiat atau watak seseorang itu memang tidak bisa diubah atau dimodifikasi."
"Segemoy-gemoynya capres tapi kalau tabiat aslinya, watak aslinya memperlihatkan kekasaran, sering merendahkan seseorang ini memperlihatkan ada persoalan yang akut, ketidaberesan dalam diri seseorang," paparnya.
"Mungkin kali ini lebih belajar pada diri Bongbong Marcos sehingga dia lebih banyak menampilkan gaya-gaya gemoy, gaya gaya lucu namun lupa lagi gaya lucu, gemoy, masih juga menyimpan tabiatnya yang tidak bisa ditutupi dengan mengeluarkan kata-kata keras, merendahkan orang."
"Watak asli yang tidak bisa ditutupi dengan politik modifikasi penampilan ternyata topeng itu tidak bisa selalu digunakan dalam politik," ucapnya.
Mari tonton video wawancara eksklusif Tribunnews On Focus dengan Doktor komunikasi politik & Direktur Lembaga Kajian Politik Nusakom Pratama Ari Junaedi.(*)