Mantan Anggota Dewan Etik MK Soroti Ridwan Mansyur Masuk Jajaran MKMK
Sodiki menyoroti Hakim Konstitusi Ridwan Mansyur yang masuk jajaran Anggota MKMK dari unsur hakim aktif.
Penulis: Ibriza Fasti Ifhami
Editor: Hasanudin Aco
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Ibriza Fasti Ifhami
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Mantan Anggota Dewan Etik Mahkamah Konstitusi (MK) Achmad Sodiki merespons soal pembentukan Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) permanen.
Sodiki mengatakan keberadaan MKMK sangat penting karena hal tersebut juga telah diamanatkan dalam Putusan MKMK adhoc pimpinan Jimly Asshidiqie, beberapa waktu lalu.
Terlebih dengan semakin dekatnya Pemilu 2024, MK menjadi muara dari perkara Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU).
"Saya kira sangat penting, betapa putusan Prof Jimly juga mengarahkan ke pembentukan MKMK permanen, apalagi menghapi pemilu presiden, legislatif, DPD, dan kepala daerah," kata Sodiki kepada Tribunnews.com pada Kamis (21/12/2023).
Baca juga: Soal Komposisi MKMK, Pengamat Kritik Kehadiran Hakim Aktif yang Seakan Awasi Kawan Sendiri
Mantan Wakil Ketua MK ini menjelaskan berdasarkan pengalamannya akan ada ratusan perkara PHPU masuk ke MK.
"Biasanya perkara yang masuk, berdasarkan pengalaman masa lalu sekitar 400 perkara. Perlu energi extra, baik hakimnya maupun MKMK-nya sangat berat," ungkap Sodiki.
Bukan hanya beban kerja MKMK, Sodiki juga menyoroti Hakim Konstitusi Ridwan Mansyur yang masuk jajaran Anggota MKMK dari unsur hakim aktif.
"Kedudukan Hakim Ridwan juga berat, karena selain memutus perkara reguler, juga perkara gugatan etik."
Ia mengaku kurang memahami mengapa salah satu unsur di MKMK berasal dari hakim MK sendiri.
Hal tersebut, kata Sodiki, berbeda dengan unsur-unsur yang ada dalam Dewan Etik MK semasa ia menjabat dulu.
Dimana anggotanya berasal dari unsur tokoh masyarakat, akademisi, dan mantan hakim MK.
"Saya juga kurang paham jika nanti justru yang digugat secara etik Hakim Ridwan Mansur sendiri yang ikut memutus perkara gugatan perkara pemilu. Apakah nanti yang memutus dua orang hakim MKMK yaitu Pak Yuliandri dengan I Gede Palguna? Bagaimana pula jika keduanya saling beda pendapat?" kata Sodiki.
Sehingga Sodiki menilai hal ini perlu diatur dalam peraturan etik MK yang baru.