Dampak Vonis Haris-Fatia Diharap Dapat Jadi Dasar untuk Bangun Iklim Kebebasan Berpendapat
Dampak dari vonis bebas Haris Azhar dan Fatia Maulidiyanti seharusnya bisa menjadi dasar untuk membangun iklim kebebasan
Penulis: Mario Christian Sumampow
Editor: Adi Suhendi
Laporan Wartawan Tribunnews, Mario Christian Sumampow
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Dampak dari vonis bebas Haris Azhar dan Fatia Maulidiyanti seharusnya bisa menjadi dasar untuk membangun iklim kebebasan yang dirasa saat ini kian merosot tajam.
Haris-Fatia merupakan terdakwa dalam kasus pencemaran nama baik terhadap Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan.
Iklim kebebasan yang dimaksud oleh Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia Usman Hamid ini adalah kebebasan sipil dalam hal berekspresi, berpendapat, kebebasan pers, kebebasan mengkritik, hingga kebebasan beroposisi.
“Dampak dari putusan bebas yang disampaikan oleh Pengadilan Negeri Jakarta Timur sebenarnya sangat positif untuk membangun iklim kebebasan yang belakangan ini semakin merosot tajam di Indonesia,” ujar Usman dalam jumpa pers di Kantor Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Jakarta Pusat, Rabu (10/1/2024).
Atas vonis itu, lanjut Usman, seharusnya ada koreksi pada kebijakan pemerintah khususnya di dalam konteks kriminalisasi terhadap kritik dan kriminalisasi terhadap protes masyarakat yang berkaitan dengan kebijakan pemerintah atau kebijakan pejabat negara yang menyimpang dari kaidah-kaidah hukum.
Baca juga: Haris dan Fatia Bebas, Anies: Kita Bersyukur, tapi Demokrasi Tetap Harus Dikoreksi
Baik itu hukum tentang anti korupsi, perlindungan lingkungan hidup, maupun kaidah hukum hak asasi manusia.
Usman juga menuturkan fakta hingga argumen yang dirujuk hakim dalam persidangan memperlihatkan ihwal Haris dan Fatia tidak menyebarkan berita bohong.
Alih-alih hal itu terlihat pada para pejabat yang melaporkan mereka.
“Terindikasi secara jelas menyalahi hukum menyalahi kaidah-kaidah di dalam, misalnya tata kelola pemerintahan yang baik karena seorang pejabat seharusnya tidak boleh memiliki jabatan ganda yang menempatkan dirinya dalam dua kepentingan sekaligus, kepentigan umum dan kepentingan pribadi,” tuturnya.
Baca juga: Haris dan Fatia Dinyatakan Tak Bersalah, Pakar: Peradilan Tingkat Bawah Cenderung Punya Independensi
Sehingga, dirasa sangat perlu adanya koreksi kebijakan, dalam konteks ini Usman mengacu kepada kebijakan pertambangan.
Sebab hampir keseluruhan proyek pertambagan diiringi dengan kekuatan koersi negara termasuk kriminalisasi untuk menekan dan meredam kritik serta membungkan orang-orang yang bersuara kritis entah itu aktivis, warga, atau tokoh masyarakat tingkat bawah.
Sebelumnya, Haris dan Fatia divonis bebas karena dinilai tidak terbukti melakukan tindak pidana sebagaimana yang didakwakan jaksa dalam Pasal 27 ayat 3 jo Pasal 45 ayat 3 Undang-undang tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE), Pasal 14 ayat 2 jo Pasal 15 UU 1/1946, dan Pasal 310 KUHP. Setiap pasal tersebut disertai dengan Pasal 55 ayat 1 KUHP.
Majelis hakim juga meminta harkat dan martabat kedua terdakwa dipulihkan seperti semula. Perkara itu diadili oleh ketua majelis hakim Cokorda Gede Arthana dengan hakim anggota Muhammad Djohan Arifin dan Agam Syarief Baharudin.
Adapun JPU ingin Haris dan Fatia dihukum dengan pidana masing-masing 4 tahun penjara dan 3,5 tahun penjara.
Perkara yang disangkakan terhadap Haris dan Fatia bermula dari sebuah video yang diunggah melalui akun YouTube milik Haris. Video itu berjudul 'Ada lord Luhut di balik relasi ekonomi-ops militer Intan Jaya!! Jenderal BIN juga Ada1! >NgeHAMtam'.
Mereka membahas kajian cepat Koalisi Bersihkan Indonesia dengan judul 'Ekonomi-Politik Penempatan Militer di Papua: Kasus Intan Jaya' yang menunjukkan ada keterlibatan Luhut.