Tingkat ASI Ekslusif Meningkat, Tapi Stunting Masih Tinggi di Beberapa Wilayah, Ini Akar Masalahnya
Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan persentase pemberian ASI eksklusif nasional terus meningkat dalam 4 tahun terakhir.
Penulis: Yulis Sulistyawan
Editor: Willem Jonata
Nurul Yani misalnya. Penjual perabot rumah tangga ini mengaku mengalami kesulitan memberikan ASI eksklusif untuk putrinya karena ASI nya terus menerus berkurang.
Ia bahkan sudah berupaya memenuhi asupan gizi dengan tambahan booster ASI. Namun, tuntutan dan lingkungan kerja tidak leluasa bagi Yani untuk melalukan pumping ASI.
Ia pun akhirnya terpaksa menambahkan susu formula agar kebutuhan gizi putrinya terpenuhi.
“Bagaimanapun saya juga harus bekerja, tidak bisa hanya mengandalkan penghasilan suami saja,” ujar Yani.
Tak jauh berbeda, Nurlaila seorang karyawan perusahaan teknologi di Jakarta mengaku akhirnya memberikan susu formula untuk anak keduanya saat harus kembali bekerja.
“Awalnya sempat berusaha pumping ASI di kantor. Tapi lama-lama stress juga, rajin pumping tapi ASI semakin sedikit dan tidak cukup. Akhirnya saya menguatkan diri untuk mengabaikan perkataan orang lain yang menyayangkan saya terpaksa memberikan susu tambahan. Saya pikir, ketenangan ibu lebih penting daripada memaksakan hal yang malah membuat pikiran saya menjadi berantakan,” jelas Nurlaila.
Suci, seorang guru paruh waktu dari desa Curug Bitung Nanggung, juga menghadapi tantangan saat harus kembali bekerja setelah cuti melahirkan 3 bulan. Minim fasilitas penyimpanan ASI perah membuatnya memberikan susu formula untuk anaknya.
“Pasti semua ibu ingin yang terbaik untuk anaknya, semua ingin kaish ASI. Tapi kalau tidak memungkinkan bagaimana? Yang penting anak saya dapat tumbuh dengan sehat,” jelas Suci.
Demikian juga, Ida, seorang ibu rumah tangga dari desa Barengkok, Bogor, Jawa Barat yang tidak dapat memberikan ASI sejak lahir sebab mengalami pembengkakan payudara.
Namun kendala finansial membuatnya tudak bisa memberikan susu formula untuk sang anak. Alhasil, ida mengalihkan kebutuhan anaknya ke susu yang lebih terjangkau penghasilan keluarganya, yaitu kental manis.
Serupa denga Ida, Euis dari desa Cibeber yang sehari-hari Bertani pun memilih kental manis. Ia mengaku tak bisa memenuhi kebutuhan ASI untuk sang anak, namun juga harus mempertimbangkan jatah pengeluaran keluarga.
Euis mengaku, dengan memberikan kental manis untuk sang bayi, dapat menggantikan ASI.
Sangat disayangkan, kedua ibu muda ini, tidak menyadari risiko tingginya kandungan gula pada produk kental manis yang dikonsumsi oleh anaknya 2-4 kali sehari.
Terhambatnya pemberian ASI selama ini kerap dikaitkan dengan keberadaan susu formula. Jika berkaca pada kisah sejumlah ibu di atas, terdapat persoalan lain yang mengakar ketimbang mengkambing hitamkan susu formula, yaitu minimnya regulasi yang dapat melindungi perempuan.
Kirim Komentar
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.