Pakar Tata Negara: Bola Pemakzulan Jokowi di Tangan DPR, Terkendala Untung-Rugi Politis
Pakar Hukum Tata Negara menilai bahwa Joko Widodo (Jokowi) telah memenuhi syarat untuk dimakzulkan dari jabatan Presiden
Penulis: Ashri Fadilla
Editor: Facundo Chrysnha Pradipha
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Ashri Fadilla
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pakar Hukum Tata Negara menilai bahwa Joko Widodo (Jokowi) telah memenuhi syarat untuk dimakzulkan dari jabatan Presiden Republik Indonesia (RI).
Hal itu lantaran pernyataannya soal diperbolehkannya Presiden berpihak dan berkampanye bagi peserta Pemilu tertentu.
Keberpihakan Presiden sebagai kepala negara, dianggap dapat menguntungkan suatu pasangan calon (Paslon) dan merugikan Paslon lainnya.
Padahal itu dilarang dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 Tentang Pemilu, khususnya Pasal 282 dan 283.
"Sebenarnya kan diatur secara jelas di Pasal 282 dan 283 bahwa pejabat negara itu tidak boleh melakukan tindakan dan lain sebagainya yang menguntungkan atau merugikan salah satu peserta selama kampanye," kata Pakar Hukum Tata Negara, Bivitri Susanti dalam acara diskusi bertajuk Pemilu Curang: Menyoal Netralitas Presiden Hingga Pelaporan Kemhan ke Bawaslu pada Kamis (25/1/2024) di Jakarta.
Pasal 282 yang dimaksud berbunyi:
Pejabat negara, pejabat struktural, dan pejabat fungsional dalam jabatan negeri, serta kepala desa dilarang membuat keputusan dan/atau melakukan tindakan yang menguntungkan atau merugikan salah satu peserta pemilu selama masa kampanye.
Kemudian Pasal 283 berbunyi:
(1) Pejabat negara, pejabat struktural, dan pejabat fungsional dalam jabatan negeri serta aparatur sipil negara lainnya dilarang mengadakan kegiatan yang mengarah kepada keberpihakan terhadap peserta Pemilu sebelum, selama, dan sesudah masa kampanye.
(2) Larangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi pertemuan, ajakan, imbauan, seruan, atau pemberian barang kepada aparatur sipil negara dalam lingkungan unit kerjanya, anggota keluarga, dan masyarakat.
Atas dasar itulah, Bivitri menganggap bahwa perbuatan Jokowi sudah melanggar undang-undang, sehingga dapat didorong untuk pemakzulan.
Baca juga: Ini Kata Surya Paloh soal Isu Pemakzulan Presiden Jokowi
"Jadi sudah melanggar belum? Sudah. Apakah itu kemudian bisa kita dorong sampai pemakzulan? Menurut saya sih bisa," katanya.
Hanya saja, saat ini bola pemakzulan berada di tangan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).
Sementara para anggota DPR, sejauh ini dianggap cenderung pragmatis sebab merupakan politisi yang kerap menimbang-nimbang untung-rugi secara politis.
"Cuma bolanya memang dalam ruang politik formal bukan di tangan kita, tapi di tangannya DPR. Tapi kita tahu tantangannya: semua politisi itu kan pragmatis. Semua ngitung. Kalau saya serang nih Jokowi, saya ruginya apa, saya untungnya apa," ujarnya.
Selain untung-rugi politis, menurut Bivitri saat ini para anggota DPR cenderung disibukkan dengan kegiatan sebagai peserta Pemilihan Legislatif (Pileg).
Hasilnya, produktifitas para anggota dewan cenderung bergeser pada kampanye.
"Karena Pemilunya serentak, Anggota DPR sekarang juga sibuk kampanye. Lihat saja, waktu pembukaan masa sidang kemarin kan yang datang sedikit banget karena mereka sibuk kampanye," ujar Bivitri.
Meski demikian, masyarakat diharapkan dapat terus mendorong isu pemakzulan ini. Sebab menurut Bivitri, hal itu diperlukan untuk menyelamatkan demokrasi yang disebutnya sudah di tepi jurang.
"Sekarang demokrasi kita sudah di tepi jurang. Jadi menurut saya kita harus dorong supaya DPR melakukan upaya upaya pemakzulan. Bisa dimulai dengan interplasi dan hak angket misalnya," katanya.
Adapun pernyataan Jokowi mengenai bolehnya Presiden RI berpihak dan berkampanye, disampaikan dalam acara penyerahan Alutsista yang dilakukan Menteri Pertahanan Prabowo Subianto kepada TNI di Pangkalan Udara Halim Perdanakusuma, Jakarta, Rabu, (24/1/2024).
Menurut Jokowi, hal itu karena setiap orang di negara demokrasi memiliki hak politik.
"Hak demokrasi, hak politik setiap orang. Setiap menteri sama saja," ujar Jokowi.
Jokowi menilai bahwa Presiden sebagai pejabat boleh berkampanye. Bukan hanya Menteri, bahkan Presiden sekalipun boleh berkampanye.
"Presiden itu boleh loh kampanye, boleh loh memihak. Boleh," kata Jokowi.
"Boleh, kita ini pejabat publik sekaligus pejabat politik. Masa gini enggak boleh, gitu enggak boleh. Boleh. Menteri juga boleh," katanya lagi.