Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribun

Selain Presiden Hungaria, Jokowi Pernah Beri Grasi Terpidana Pelecehan Seksual dan Berujung Kritikan

Jokowi pernah melakukan hal yang sama dengan Katalin Novak terkait pemberian grasi kepada terpidana kasus pelecehan seksual pada tahun 2019 lalu.

Penulis: Yohanes Liestyo Poerwoto
Editor: Garudea Prabawati
zoom-in Selain Presiden Hungaria, Jokowi Pernah Beri Grasi Terpidana Pelecehan Seksual dan Berujung Kritikan
Kolase Tribunnews.com
Mantan Presiden Hungaria, Katalin Novak dan Presiden Joko Widodo (Jokowi). Jokowi pernah melakukan hal yang sama dengan Katalin Novak terkait pemberian grasi kepada terpidana kasus pelecehan seksual pada tahun 2019 lalu. 

TRIBUNNEWS.COM - Presiden Hungaria, Katalin Novak, menyatakan mundur dari jabatannya setelah diprotes terkait pemberian grasi atau pengampunan terhadap seorang terpidana yang dihukum akibat menutupi kasus pelecehan seksual di sebuah panti asuhan.

Mundurnya Novak ini muncul setelah adanya desakan dari masyarakat Hungaria dan oposisi pemerintah.

Dalam video pengunduran dirinya, Novak menjelaskan bahwa pemberian grasi terhadap terpidana tersebut dilakukannya pada April 2023 lalu.

Dia berdalih mengabulkan permohonan grasi lantaran terpidana diyakini tidak mengeksploitasi anak-anak yang menjadi korban pelecehan seksual.

“Saya memutuskan untuk memberikan grasi pada bulan April lalu dengan keyakinan bahwa terpidana tidak mengeksploitasi kerentanan anak-anak yang diawasi,” katanya dikutip dari video yang diunggah Reuters, Senin (12/2/2024).

Kendati demikian, Novak mengakui kesalahannya atas pemberian grasi tersebut lantaran justru memicu keraguan dari publik Hungaria atas upaya pemerintah dalam memerangi pelaku pelecehan seksual di bawah umur atau pedofilia.

“Saya melakukan kesalahan karena pengampunan dan kurangnya alasan kondusif untuk memicu keraguan tentang toleransi nol yang berlaku untuk pedofilia,” tuturnya.

Berita Rekomendasi

Di sisi lain, pengabulan grasi terhadap pelaku pelecehan seksual juga pernah terjadi di Indonesia tepatnya di era kepemimpinan Presiden Joko Widodo (Jokowi).

Senada dengan Novak, keputusan Jokowi ini pun sempat menimbulkan kecaman dari berbagai pihak seperti Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) serta Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK).

Baca juga: Presiden Hungaria Mundur Imbas Kabulkan Grasi Terpidana yang Tutupi Kasus Pelecehan Seksual

Jokowi Beri Grasi ke Terpidana Pelecehan Seksual JIS

Jokowi memberikan grasi atau pengampunan terhadap terpidana kasus pelecehan seksual yang sekaligus mantan guru Jakarta Internasional School (JIS), Neil Bantleman, pada Juni 2019 lalu.

Dikutip dari pemberitaan Kompas.com pada 12 Juli 2019, Bantleman memperoleh grasi dari Jokowi berdasarkan Keputusan Presiden (Keppres) RI Nomor 13/G tahun 2019 tertanggal 19 Juni 2019.


Adapun Keppres tersebut memutuskan agar Bantleman dikurangi masa pidananya dari 11 tahun menjadi 5 tahun 1 bulan dan denda pidana senilai Rp 100 juta.

Setelah menerima grasi, Bantleman pun langsung terbang ke Ontario, Kanada yang merupakan tempat kelahirannya.

Sebelumnya, Bantleman divonis 10 tahun penjara  Pengadilan Negeri Jakarta Selatan atas perkara pelecehan seksual terhadap murid JIS.

Namun, banding Bantleman pun dikabulkan Pengadilan Tinggi DKI Jakarta pada Agustus 2015 dan diputus agar dirinya dibebaskan.

Lalu, atas putusan banding tersebut, jaksa mengajukan kasasi ke MA dan akhirnya majelis hakim justru menambah masa hukuman pria asal Kanada itu menjadi 11 tahun.

Vonis MA itu pun lebih rendah dari tuntutan jaksa yang meminta hakim agar Bantleman dipenjara selama 12 tahun.

Dikritik KPAI dan LPSK

Pemberian grasi oleh Jokowi kepada Bantleman pun dikritik oleh KPAI dan LPSK.

Anggota KPAI saat itu, Jasra Putra  mengatakan pemberian grasi oleh Jokowi tersebut menjadi lembaran hitam terhadap upaya perlindungan anak Indonesia.

Putra juga menganggap bahwa pemberian grasi ini tidak sesuai dengan komitmen penegakan hukum bagi pelaku pelecehan seksual kepada anak.

“Terkait grasi terhadap Neil Bantleman, terpidana kasus pelecehan seksual terhadap siswa JIS oleh Presiden, di satu sisi adalah hak yang dimiliki oleh Presiden. Tentu kita hormati keputusan tersebut.”

“Namun, jika dihubungkan dengan dengan semangat penegakan hukum yang maksimal bagi pelaku pelecehan seksual anak, tentu hak grasi yang diberikan Presiden menjadi tidak sejalan dengan semangat tersebut.”

“Apalagi Presiden, pada tahun 2016, mengeluarkan Perppu tentang kebiri dan diundangkan melalui UU 17 Tahun 2016 revisi kedua UU Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak,” katanya dikutip dari laman KPAI.

Baca juga: Mahfud MD Kaji Pemberian Grasi Massal ke Terpidana Narkoba

Senada dengan KPAI, LPSK pun menilai pemberian grasi oleh Jokowi tidak sejalan dengan semangat undang-undang tentang perlindungan anak.

“Saya ingin beri info bahwa sebetulnya kan grasi yang diberikan ke terpidana itu kalau dilihat sisi semangat UU Perlindungan Anak sebenarnya nggak sejalan,” kata Wakil Ketua LPSK saat itu, Antionisu PS Wibowo dalam konferensi pers pada 24 Juli 2019 lalu.

Menurutnya, Jokowi seharusnya mengimplementasikan amandemen UU Nomor 23 Tahun 2022 menjadi UU Nomor 35 Tahun 2014 agar pelaku pelecehan seksual dihukum lebih berat.

“UU Perlindungan anak mendorong supaya pelaku kekerasan seksual pada anak hukumannya berat. Cobalah kasih hukuman berat tuh, 15 tahun, dan denda Rp 5 miliar,” ujarnya.

(Tribunnews.com/Yohanes Liestyo Poerwoto/Malvyandie Haryadie/Gita Irawan)(Kompas.com)

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
© 2024 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas