Korupsi Timah Rp 271 Triliun, PDIP Kritik Bahlil di DPR: Kok Menterinya Tidak Minta Maaf ke Publik
Mufti menyinggung kementerian yang dipimpin Bahlil ini tidak memiliki tanggung jawab atas dugaan korupsi yang merugikan negara ratusan triliun rupiah
Penulis: Chaerul Umam
Editor: Acos Abdul Qodir
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Chaerul Umam
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Anggota Komisi VI DPR RI Fraksi PDIP Mufti Anam, menyoroti kasus dugaan korupsi tata niaga komoditas timah, yang menyeret nama suami Sandra Dewi, yakni Harvey Moeis.
Mufti mengungkapkan bahwa mendapat informasi ada mafia tambang di balik kasus timah tersebut.
Hal itu disampaikannya dalam rapat kerja Komisi VI DPR RI bersama Menteri Investasi/Kepala BKPM Bahlil Lahadalia, pada Senin (1/4/2024).
"Yang lebih penting dari semua isu yang ada saat ini adalah soal ramainya skandal tambang timah yang melibatkan suami Sandra Dewi, Harvey Moies, juga kemudian ada Helena Lim dan ternyata di belakangnya ada seorang mafia besar yang kami dapat informasinya adalah Robert Bono Susatyo," ungkapnya, di Ruang Rapat Komisi VI DPR, Senayan, Jakarta.
Mufti menyinggung kementerian yang dipimpin Bahlil ini tidak memiliki tanggung jawab atas dugaan korupsi yang merugikan negara ratusan triliun rupiah itu.
"Suasana kebatinan saya terganggu, ke mana menteri investasi, ya kok tidak punya tanggung jawab publik tidak punya mohon maaf tidak ada kegalauan hati untuk menyelesaikan masalah ini karena mau tidak mau juga terkait kementerian investasi," ucapnya.
Sebab itu, Mufti meminta keberanian Bahlil untuk mencabut izin usaha pertambangan yang berkaitan dengan Harvey Moeis.
"Kami minta semua tambang yang berkaitan dengan mereka harus dicabut dihentikan sampai urusan ini benar-benar tuntas kami minta jawaban pak menteri," pungkasnya.
Baca juga: Ini Sosok Bos Besar Korupsi Timah yang Seret Harvey Moeis dan Helena Lim, Kini Diperiksa Kejagung
Sebelumnya, perkara dugaan korupsi tata niaga timah baru-baru ini menyeret suami artis Sandra Dewi, Harvey Moeis sebagai tersangka.
Dalam perkara ini, Harvey Moeis terseret terkait posisinya sebagai perwakilan PT Refined Bangka Tin (RBT), salah satu perusahaan pertambangan asal Bangka.
Harvey ditetapkan tersangka oleh Kejaksaan Agung pada Rabu (27/3/2024).
Sehari sebelumnya, Crazy Rich Pantai Indah Kapuk (PIK), Helena Lim ditetapkan tersangka dalam perkara yang sama.
Helena dijadikan tersangka terkait posisinya sebagai Maanajer PT Quantum Skyline Exchange (QSE) yang mengelola dana corporate social responsibility (CSR) dari hasil penambangan liar yang diakomodir Harvey Moeis.
Namun, dalam hal ini, Harvey Moeis dan Helena Lim diduga bukanlah ujung tombak dari pihak yang menikmati hasil korupsi.
Baca juga: Korupsi Kabasarnas, Oditur Militer Ajukan 21 Saksi dan 118 Bukti Transfer Dana Komando ke Anak Istri
Dalam somasi terbuka yang dilayangkan Masyarakat Anti-Korupsi Indonesia (MAKI), diduga ada sosok berinisial RBS yang merupakan official benefit atau penerima manfaat.
"RBS diduga berperan yang menyuruh Harvey Moeis dan Helena Lim untuk dugaan memanipulasi uang hasil korupsi dengan modus CSR. RBS adalah terduga official benefit dari perusahaan-perusahaan pelaku penambangan timah ilegal sehingga semestinya RBS dijerat dengan ketentuan tindak pidana pencucian uang guna merampas seluruh hartanya guna mengembalikan kerugian negara dengan jumlah fantastis," kata Koordinator MAKI, Boyamin Saiman dalam keterangan tertulis, Kamis (28/3/2024).
Menurut Boyamin, sosok RBS kini diduga kabur ke luar negeri.
Karena itulah, penetapan RBS sebagai tersangka diperlukan agar kemudian bisa dimasukkan ke dalam daftat pencarian orang (DPO).
"RBS saat ini diduga kabur keluar negeri sehingga penetapan tersangka menjadi penting guna menerbitkan Daftar Pencarian Orang dan Red Notice Interpol guna penangkapan RBS oleh Polisi Internasional," kata Boyamin.
Sedangkan dari Kejaksaan Agung sejauh ini belum memberikan tanggapan hingga berita ini ditulis.
Konfirmasi telah diupayakan ke Kapuspenkum Kejaksaan Agung, Ketut Sumedana.
16 Tersangka
Sebagai informasi, dalam perkara ini tim penyidik telah menetapkan 16 tersangka, termasuk perkara pokok dan obstruction of justice (OOJ) alias perintangan penyidikan.
Di antara para tersangka yang sudah ditetapkan sebelumnya, terdapat penyelenggara negara, yakni: M Riza Pahlevi Tabrani (MRPT) selaku mantan Direktur Utama PT Timah; Emil Emindra (EML) selaku Direktur Keuangan PT Timah tahun 2017 sampai dengan 2018; dan Alwin Albar (ALW) selaku Direktur Operasional tahun 2017, 2018, 2021 sekaligus Direktur Pengembangan Usaha tahun 2019 sampai dengan 2020 PT Timah.
Baca juga: Jaksa KPK yang Diduga Peras Saksi Rp3 Miliar Dipulangkan ke Kejagung, Ini Alasannya
Kemudian selebihnya merupakan pihak swasta, yakni: Pemilik CV Venus Inti Perkasa (VIP), Tamron alias Aon (TN); Manajer Operasional CV VIP, Achmad Albani (AA); Komisaris CV VIP, BY; Direktur Utama CV VIP, HT alias ASN; General Manager PT Tinindo Inter Nusa (TIN) Rosalina (RL); Direktur Utama PT Sariwiguna Bina Sentosa (SBS) berinisial RI; SG alias AW selaku pengusaha tambang di Pangkalpinang; MBG selaku pengusaha tambang di Pangkalpinang; Direktur Utama PT Refined Bangka Tin (RBT), Suparta (SP); Direktur Pengembangan Usaha PT RBT, Reza Andriansyah (RA); Manajer PT Quantum Skyline Exchange, Helena Li; dan perwakilan PT RBT, Harvey Moeis.
Sedangkan dalam OOJ, Kejaksaan Agung telah menetapkan Toni Tamsil alias Akhi, adik Tamron sebagai tersangka.
Nilai kerugian negara pada kasus ini ditaksir mencapai Rp 271 triliun.
Bahkan menurut Direktur Penyidikan pada Jampidsus Kejaksan Agung, nilai Rp 271 triliun itu akan terus bertambah. Sebab nilai tersebut baru hasil penghitungan kerugian perekonomian, belum ditambah kerugian keuangan.
"Itu tadi hasil penghitungan kerugian perekonomian. Belum lagi ditambah kerugian keuangan negara. Nampak sebagian besar lahan yang ditambang merupakan area hutan dan tidak ditambal," kata Dirdik Jampidsus Kejaksaan Agung, Kuntadi dalam konferensi pers Senin (19/2/2024).
Baca juga: Diduga Nikmati Duit Panas Kementan, Anak Istri hingga Cucu SYL Bakal Diperiksa KPK
Akibat perbuatan yang merugikan negara ini, para tersangka di perkara pokok dijerat Pasal 2 Ayat (1) dan Pasal 3 jo. Pasal 18 Undang-Undang RI Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dan ditambah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 jo. Undang-Undang RI Nomor 31 Tahun 1999 tentang Perubahan atas Undang-Undang RI Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo. Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP.
Kemudian tersangka OOJ dijerat Pasal 21 Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Kirim Komentar
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.