Romo Magnis di Sidang MK: Aksi Presiden Bagi-bagi Bansos Merupakan Pencurian & Melanggar Etika
Aksi Jokowi mengambil bansos dan membagi-bagikannya dalam rangka mengampanyekan salah satu paslon pilpres disebut pencurian dan melanggar etika.
Editor: Dewi Agustina
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Pakar filsafat Profesor Franz Magnis Suseno SJ atau Romo Magnis menegaskan, aksi Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang mengandalkan kekuasaan untuk mengambil bantuan sosial (bansos) dan membagi-bagikannya dalam rangka mengampanyekan salah satu paslon peserta Pilpres 2024, merupakan pencurian dan melanggar etika.
Romo Magnis menilai, aksi tersebut menyerupai tindakan seorang karyawan toko, yang diam-diam mengambil uang tunai di kasir.
"Selain itu, pembagian bansos itu juga menandai bahwa Presiden telah kehilangan wawasan etika dasar atas jabatan, yang diemban. Bahwa kekuasaan yang dimiliki bukan untuk melayani diri sendiri melainkan untuk seluruh masyarakat," kata Romo Magnis.
Pelanggaran etika atas aksi presiden membagi-bagikan bansos itu disampaikan dalam sidang sengketa Perselisihan Hasil Pemilihan Umum Presiden (PHPU) Pilpres 2024 di Mahkamah Konstitusi (MK), Jakarta, Selasa (2/4/2024).
Baca juga: Ketua KPU Ditegur Ketua MK Karena Tidur Saat Sidang Sengketa Pilpres Berlangsung
Filsuf itu hadir sebagai ahli yang dihadirkan Tim Demokrasi dan Keadilan Ganjar-Mahfud, pada Selasa (2/4/2024).
Selain Romo Magnis, ada 8 ahli lainnya yang dihadirkan yaitu, Leony Lidya, Putu Artha, Charles Simabura, Aan Eko Widianto, Risa Permanadeli, Suseno, Suharko, Hamdi Muluk, dan Didin Damanhuri.
Di hadapan majelis hakim yang dipimpin Ketua MK Suhartoyo dan dihadiri Komisi Pemilihan Umum (KPU) selaku termohon, Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) dan pihak terkait, yaitu tim hukum paslon Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka, Romo Magnis memaparkan lima pelanggaran etik dalam Pilpres 2024.
Pembagian bansos oleh Presiden merupakan salah satu di antaranya.
Adapun empat pelanggaran etik lain yang menjadi sorotan adalah pendaftaran Gibran Rakabuming Raka sebagai Cawapres, Nepotisme, Keberpihakan Presiden, dan Manipulasi Pemilu 2024.
Pendaftaran Gibran
Romo Magnis menuturkan, pendaftaran putra sulung Presiden Jokowi, Gibran sebagai Cawapres oleh Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) dianggap pelanggaran etika berat, karena pendaftarannya didasarkan pada putusan yang dalam prosesnya terjadi pelanggaran etika.
"Mendasarkan diri pada suatu keputusan yang diambil dengan pelanggaran etika berat merupakan pelanggaran berat etika sendiri," tegas Romo.
Diketahui, Majelis Kehormatan MK (MKMK) memutuskan enam hakim konstitusi melanggar kode etik dalam menetapkan Putusan MK Nomor 90/2023 yang menjadi karpet merah bagi Gibran untuk maju sebagai Cawapres.
Adapun, Ketua MK kala itu Anwar Usman dicopot dari jabatannya.
Baca juga: Kapasitasnya Dipertanyakan KPU di Sidang MK, Ahli Ganjar-Mahfud Akui Sudah Mundur dari Partai Nasdem
Lebih lanjut, Romo Magnis mengatakan, aksi Presiden yang menggunakan kedudukan dan kekuasaan untuk memberi petunjuk kepada ASN, TNI, Polri, dan aparat lain untuk mendukung salah satu paslon, serta menggunakan kas negara untuk membiayai perjalanan-perjalanan dalam rangka memberi dukungan kepada salah satu paslon adalah termasuk pelanggaran etika berat.
Begitu pun saat Presiden memakai kekuasaan yang diberikan oleh bangsanya untuk menguntungkan keluarganya atau yang dikenal dengan nepotisme.
"Itu amat memalukan, karena membuktikan dia tidak mempunyai wawasan seorang presiden ‘hidupku seratus persen demi rakyatku’ melainkan hanya memikirkan diri sendiri dan keluarganya," bebernya.
Pada keterangan penutupnya, Romo Magnis menuturkan, bahwa proses Pemilu 2024 telah dimanipulasi sehingga termasuk pelanggaran etika berat, karena merupakan bentuk pembongkaran hakekat demokrasi. (*)