Boyamin Ungkap Ada 4 Klaster Korupsi PT Timah, Mulai dari Tambang Ilegal hingga Aliran Uang Haram
Kata Boyamin, berdasarkan catatannya maka dugaan kerugian negara yang disebabkan markup smelter adalah Rp 950 miliar hingga Rp 1 triliun.
Penulis: Ilham Rian Pratama
Editor: Muhammad Zulfikar
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Ilham Rian Pratama
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Koordinator Masyarakat Anti-Korupsi Indonesia (MAKI), Boyamin Saiman, mengungkap ada empat klaster dalam kasus dugaan korupsi tata niaga timah wilayah Izin Usaha Pertambangan (IUP) PT Timah Tbk tahun 2015 hingga 2022 yang berpotensi menyebabkan kerugian negara sebesar Rp271 triliun.
Klaster pertama, disebut Boyamin, ialah terkait dengan tambang ilegal.
Baca juga: Daftar Aset yang Disita Kejagung dari Harvey Moeis hingga Helena Lim, Nilainya Capai Triliunan?
"Saya jadikan dua klaster dulu. Klaster pertama, dugaan tambang ilegal. Artinya mengambil tambangnya PT Timah, kemudian seakan-akan dibawa keluar, diolah kemudian dijual ke PT Timah, padahal itu barangnya PT Timah kan, 'mencuri barangnya sendiri' lah, bersekongkol dengan oknum di PT Timah, mestinya kan gitu," kata Boyamin dalam wawancara eksklusif bersama Direktur Pemberitaan Tribun Network, Febby Mahendra Putra, dikutip dari tayangan YouTube Tribunnews, Jumat (5/4/2024).
"Atau setidaknya pura-pura dibiarkan atau pura-pura tidak tahu atau betul-betul tidak tahu kalau barangnya diambil. Itu kan istilahnya ironi gitu. Nah, itu yang klaster pertama dari sisi tambang ilegal," imbuhnya.
Baca juga: Kejagung Tegaskan akan Kejar Harta Tersangka Kasus Korupsi PT Timah Sampai Luar Negeri
Kemudian klaster kedua, kata Boyamin, berkaitan dengan dugaan markup pembengkakan biaya smelter.
"Klaster kedua adalah dari dugaan markup pembengkakan biaya smelter. PT Timah ini diduga kerja sama kontrak dengan PT A, kira-kira 3.000 lah per ton atau berapa lah, terus kemudian PT A melakukan kontrak lagi dengan PT B. Nah, ternyata PT B ini lah yang punya mesin, punya alat, punya tenaga, punya keahlian, punya modal untuk melakukan smelter," ungkapnya.
Dari situ, lanjut Boyamin, kemudian PT A hanya membayar antara 1.200-1.500. Terdapat selisih kira-kira 1.500.
Berdasarkan hal tersebut, ujar Boyamin, mestinya PT Timah harusnya cuma membayar 1.500.
"Kenapa membayar 3.000. Dan mestinya dia melakukan kontrak kerja sama dengan PT B bukan dengan PT A. Sehingga PT A ini kan sebenarnya fungsinya hanya makelar aja, makelar kok dapat upahnya paling gede. Nah, ini dugaan markup dari smelter," ujar dia.
Kata Boyamin, berdasarkan catatannya maka dugaan kerugian negara yang disebabkan markup smelter adalah Rp 950 miliar hingga Rp 1 triliun.
Sementara kerugian negara akibat tambang ilegal disinyalir mencapai Rp 10 triliun hingga Rp 20 triliun.
"Jadi dua itu, klaster pertama dugaan illegal mining, tambang ilegal. Yang kedua adalah dugaan pembengkakan biaya smelter atau penjernihan dari timah. Jadi penjernihan dari timah itu gambaran yang pernah saya dapat itu kerugian diangka 950 miliar sampai 1 triliun. Nah, kalau dari tambang ilegal itu 2015 sampai tahun kemarin misalnya, kira-kira 10 sampai 20 triliun, itu gambaran kasar saya," bebernya.
Boyamin berharap Kejaksaan Agung (Kejagung) bisa menemukan kerugial riil dari tambang ilegal PT Timah.
Baca juga: Kejagung Bantah Sita Rp 76 Miliar di Kasus Timah, Sebut Baru Menyita Mobil, Perhiasan Serta Dokumen