Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribun

Dissenting Opinion, Hakim MK Saldi Isra Singgung Orde Baru, Anies Baswedan Manggut-manggut

Hakim MK Saldi Isra embacakan alasannya memberikan dissenting opinion atas putusan MK soal sengketa Pilpres 2024.

Penulis: Hasanudin Aco
zoom-in Dissenting Opinion, Hakim MK Saldi Isra Singgung Orde Baru, Anies Baswedan Manggut-manggut
Tangkapan Layar Youtube
Pemohon I Anies Baswedan dan Muhamin Iskandar menyimak penjelasan Hakim MK Saldi Isra/ Via Kompas.TV 

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan menolak gugatan sengketa Pilpres yang diajukan oleh pemohon I, akni kubu pasangan calon presiden dan wakil presiden nomor urut 01 Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar.

"Dalam eksepsi, menolak eksepsi pemohon. Dalam pokok permohonan, Menolak permohonan pemohon untuk seluruhnya," ucap Ketua MK Suhartoyo  membacakan amar putusan di ruang sidang pleno MK di Jakarta pada Senin (22/4/2024).

Meski demikian terdapat 3 hakim konstitusi yang dissenting opinion atau berbeda pendapat terkait putusan MK.

Tiga hakim itu adalah Saldi Isra, Enny Nurbaningsih, dan Arief Hidayat.

Penjelasan Hakim Saldi Isra

Dalam sidang itu, Hakim MK Saldi Isra membacakan alasannya memberikan dissenting opinion.

“Secara pribadi sebagai hakim saya memiliki keyakinan yang berbeda dengan hakim yang lain,” ujar Saldi Isra saat membacakan pandangannya di ruang sidang.

Berita Rekomendasi

Saldi Isra mengatakan Pemilu harus dijalankan jujur dan adil yang mengatur asas langsung, jujur adil, sebagai asaz pemilu.

“Hal itu sebagai prinsip kontestasi pemilu dalam UUD 1945," ujarnya.

Baca juga: 9 Poin Penting Putusan MK Tolak Gugatan Anies-Muhaimin : Soal Bansos, Mayor Teddy hingga Jokowi

Wakil Ketua MK ini menjelaskan bahwa konsep pemilu jujur dan adil yang dikehendaki UUD UU 45 dibagi dua yakni Pemilu jujur dan adil secara prosedural dan pemilu jujur dan adil secara substansial.

Dia mengatakan mengatakan bahwa dalam keadilan prosedural dalam penyelenggaraan pemilihan umum (pemilu) tidak serta-merta mencerminkan keadilan substansial.

Ditegaskan bahwa cara prosedural pelaksanaan pemilu mungkin sudah berjalan sesuai ketentuan perundang-undangan, apabila terjadi pelanggaran dan ditangani sesuai dengan mekanisme yang tersedia maka sudah terkategori sebagai pemilu yang jujur dan adil.

"Melampaui batas keadilan prosedural itu, asas jujur dan adil dalam Pasal 22E ayat (1) UUD 1945 tidak hendak berhenti pada batas keadilan prosedur semata," ujarnya.

Saldi mengatakan jika hanya sebatas keadilan prosedural, asas pemilu jujur dan adil dalam UUD 1945 tersebut tidak akan pernah hadir.

Guru besar Universitas Andalas itu menjadikan pemilu pada masa pemerintahan Soeharto sebagai perbandingan.

"Sebab, pemilu di masa Orde Baru pun berjalan memenuhi segala prosedur yang ada, yaitu dilaksanakan dengan memenuhi standar mekanisme yang ditentukan dalam UU Pemilu saat itu," kata Saldi.

"Namun, secara empirik, pemilu Orde Baru tetap dinilai curang karena secara substansial pelaksanaan pemilunya berjalan dengan tidak fair, baik karena faktor pemihakan pemerintah pada salah satu kontestan pemilu, maupun karena faktor praktik penyelenggaraan pemilu yang tidak memberi ruang kontestasi yang adil bagi semua kontestan pemilu," ujarnya lagi.

Anies Manggut-manggut

Saat itulah Anies terlihat manggut-manggut kepalanya.

Dia terlihat seksama mendengarkan penjelasan Saldi Isra.

Saldi lantas menyinggung asas jujur dan adil dalam norma Pasal 22E ayat (1) UUD 1945 menghendaki sebuah keadilan dan kejujuran pemilu yang lebih materil.

"Jujur dan adil yang dikehendaki bukan hanya sekadar sikap patuh pada aturan, melainkan sikap tidak berlaku curang, tidak berbohong, dan tidak memanipulasi atau memanfaatkan celah hukum/kelemahan aturan hukum pemilu yang ada untuk melakukan tindakan yang secara esensial merupakan praktik curang dalam sebuah kontestasi," katanya.

Dia melanjutkan, hal itu meliputi aspek bagaimana aturan main pemilu dirumuskan, proses pelaksanaan yang tunduk pada sikap jujur dari semua pihak, dan kehendak untuk menahan diri oleh semua pihak untuk tidak memanfaatkan kelemahan hukum pemilu untuk berlaku curang.

Pemilu jujur dan adil sesuai kehendak konstitusi adalah pemilu yang diikuti dengan sikap penuh ketulusan untuk tidak berbohong, tidak curang, dan tidak memanipulasi dengan jalan apa pun, urai Saldi.

"Pemilu jujur dan adil adalah pemilu yang diikuti dengan sikap apa adanya, di mana antara pemilih dan calon yang dipilih sama sekali tidak terikat oleh sebuah praktik transaksi politik yang tidak didasarkan atas sikap dan tindakan yang menciderai kejujuran dan keadilan pemilu, sehingga bermuara pada rusaknya pemilu yang berintegritas," ujarnya.

Soroti Dua Hal Penting

Dalam dissenting opinion-nya, Saldi menyoroti dua hal yang dilalilkan Pemohon I (Anies-Muhaimin) diantaranya politisasi bantua sosial (bansos) dan keterlibatan pejabat negara.

Saldi melihat adanya pengelolaan anggaran negara yang berdekatan dengan penyelenggaraan pemilu.

Selain itu, Pemohon I juga mendalilkan, penyaluran bansos beriringan dengan kunjungan kerja Presiden.

"Berdasarkan pertimbangan hukum dan fakta tersebut, pembagian bansos atau nama lainnya untuk kepentingan elektoral menjadi tidak mungkin untuk dinafikan sama sekali. Oleh karena itu, saya mengemban kewajiban moral (moral obligation) untuk mengingatkan guna mengantisipasi dan mencegah terjadinya pengulangan atas keadaan serupa dalam setiap kontestasi pemilu," kata Saldi Isra dalam persidangan.

Terlebih, kata Saldi, dalam waktu dekat, akan dilaksanakan pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah serentak secara nasional. Ia menilai, penggunaan anggaran negara/daerah oleh petahana, pejabat negara, ataupun oleh kepala daerah demi memenangkan salah satu peserta pemilihan yang didukungnya dapat dimanfaatkan sebagai celah hukum dan dapat ditiru menjadi bagian dari strategi pemilihan.

"Dengan menyatakan dalil a quo terbukti, maka akan menjadi pesan jelas dan efek kejut (deterrent effect) kepada semua calon kontestan dalam pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah bulan November 2024 yang akan datang untuk tidak melakukan hal serupa. Dengan demikian, saya berkeyakinan bahwa dalil Pemohon terkait dengan politisasi bansos beralasan menurut hukum," ucapnya.

Kemudian, terkait dengan netralitas pejabat, Saldi meyakini, telah terjadi ketidaknetralan sebagian PJ Kepala Daerah termasuk perangkat daerah yang menyebabkan pemilu tidak berlangsung secara jujur dan adil.

"Semua ini bermuara pada terselenggaranya pemilu yang tidak beritegritas," jelas Saldi Isra.

Terkait alasan-alasan yang disampaikannya tersebut, Saldi menilai dalil kubu Anies-Muhaimin terkait politisasi bansos dan netralitas pejabat beralasan menurut hukum.

Ia memandang, Mahkamah seharusnya memerintahkan pemungutan suara ulang (PSU) di beberapa daerah.

"Menimbang bahwa berdasarkan seluruh uraian pertimbangan hukum di atas, dalil pemohon sepanjang berkenaan dengan politisasi bansos dan mobilisasi aparat atau aparatur negara atau penyelenggara negara adalah beralasan menurut hukum. oleh karena itu, demi menjaga integritas penyelenggaraan pemilu yang jujur dan adil, maka seharusnya Mahkamah memerintahkan untuk dilakukan pemungutan suara ulang di beberapa daerah sebagaimana disebut dalam pertimbangan hukum di atas," ucap Saldi.

Penulis: Rizki/Has

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
© 2025 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas