Taruna STIP Aniaya Junior hingga Tewas, Diduga Gara-gara Tak Terima Korban Lolos Mayoret
Pemicu pelaku lakukan penganiayaan terhadap juniornya diduga karena adanya rasa kecemburuan, sebab korban lolos seleksi mayoret dan dikirim ke China.
Penulis: Rifqah
Editor: Pravitri Retno W
TRIBUNNEWS.COM - Taruna Sekolah Tinggi Ilmu Pelayaran (STIP) Cilincing, Jakarta Utara, bernama Putu Satria Ananta Rustika (19) tewas di tangan seniornya, Tegar Rafi Sanjaya (21), di kampus pada Jumat (3/5/2024) pagi.
Awalnya, terungkap pelaku melakukan penganiayaan karena korban melakukan kesalahan hingga menurutnya perlu dihukum.
Di mana, korban dianggap melakukan kesalahan karena mengenakan baju olahraga saat masuk ke dalam kelas pada Jumat pagi, usai jalan santai.
Kepada polisi, Tegar mengaku ia memukuli korban sebanyak lima kali di bagian ulu hatinya.
Pukulan tersebut dimaksudkan sebagai penerapan hukuman dari senior kepada junior.
"Ada penindakan terhadap junior, karena dilihat ada yang salah menurut persepsinya senior, sehingga dikumpulkan di kamar mandi," kata Kapolres Metro Jakarta Utara, Kombes Pol Gidion Arif Setyawan, Sabtu (4/5/2024), dikutip dari TribunJakarta.com.
Namun, diungkapkan oleh pihak keluarga, bahwa motif pelaku melakukan penganiayaan tersebut diduga karena merasa cemburu dengan korban.
Sebab, korban berprestasi dan lolos seleksi menjadi mayoret yang akan dikirim ke China.
"Kemarin pembinanya yang ngomong, memang keponakan saya ini terpilih jadi mayoret satu."
"Pembinanya bilang mungkin ada kecemburuan sosial, dalam hal kasus ini," kata paman Putu Satria, I Nyoman Budiarta, di program Sapa Indonesia Pagi Kompas TV, Senin (6/5/2024).
Nyoman mengatakan, sang pembina yang disebutkan merupakan anggota TNI Angkatan Laut (AL).
Baca juga: Sangat Terpukul, Ibunda Taruna STIP Jakarta yang Tewas Dianiaya Senior Bersandar di Peti Jenazah
Sebagai informasi, berdasarkan hasil autopsi, ditemukan luka di bagian ulu hati korban yang menyebabkan pecahnya jaringan paru-paru.
Ditemukan juga penyebab utama tewasnya korban karena upaya pertolongan yang dilakukan oleh pelaku tidak sesuai prosedur.
Sebab, setelah dipukuli, korban lemas dan tak sadarkan diri hingga membuat pelaku panik dan sempat melakukan upaya penyelamatan.
"Ketika dilakukan upaya, menurut tersangka ini adalah penyelamatan, di bagian mulut, sehingga itu menutup oksigen, saluran pernapasan, kemudian mengakibatkan organ vital tidak mendapat asupan oksigen sehingga menyebabkan kematian," jelas Gidion.
"Jadi luka yang di paru itu mempercepat proses kematian, sementara yang menyebabkan kematiannya justru setelah melihat korban pingsan atau tidak berdaya, sehingga panik kemudian dilakukan upaya-upaya penyelamatan yang tidak sesuai prosedur," paparnya.
Kini pelaku dijerat pasal 338 KUHP tentang pembunuhan juncto pasal 351 KUHP tentang penganiayaan berat dan terancam hukuman 15 tahun penjara.
Kronologi Kejadian
Tewasnya Putu bermula saat mahasiswa tingkat dua sedang ada kegiatan belajar mengajar.
Sementara, mahasiswa tingkat satu sedang melakukan kegiatan olahraga.
Korban bersama empat temannya kala itu menuju ke kamar asrama untuk memanggil rekan-rekannya yang tertinggal atau tidak mengikuti kegiatan olahraga.
Namun, saat akan kembali untuk mengikuti kegiatan olahraga, korban bersama empat rekannya itu bertemu dengan empat taruna tingkat dua atau seniornya tadi.
Para senior itu kemudian mengajak lima orang juniornya tersebut ke toilet, karena melihat korban dan keempat temannya melakukan kesalahan.
Kesalahan yang dimaksud itu adalah karena mereka mengenakan pakaian olahraga.
"Begitu turun, ketemu sama tingkat dua, mungkin ada yang salah, dilihatnya menggunakan pakaian olahraga, dipanggil senior-seniornya itu," kata Kasat Reskrim Polres Jakarta Utara, AKBP Hady Saputra Siagian, di Mapolres Metro Jakarta Utara, Sabtu.
"Diajak (senior), 'ayo ikut saya'. Ketika bertemu antara taruna tingkat satu dengan taruna senior tingkat dua, melihat ada yang salah, (junior) suruh ikut ke kamar mandi," lanjut Hady.
Selanjutnya, lima orang junior termasuk korban masuk ke dalam toilet bersama empat orang senior.
Saat itu, pelaku sempat menyampaikan kalimat 'mana yang paling kuat?' kepada para juniornya.
Kemudian, korban yang merasa bahwa dia adalah ketua kelompok dari mahasiswa tingkat satu mengatakan, 'saya yang paling kuat'.
Setelah itu, terjadilah penganiayaan dari senior terhadap juniornya, yakni Tegar kepada Putu.
Korban ini menjadi orang pertama yang mendapatkan pemukulan dari pelaku.
Ditegaskan Gidion, penganiayaan tersebut dilakukan dengan tangan kosong, tanpa alat apapun.
"Penindakan yang dilakukan ini menggunakan kekerasan tangan kosong, tidak menggunakan alat apa-apa, jadi pemukulan menggunakan tangan kosong," kata Gidion.
Tindakan kekerasan itu dilakukan secara eksesif dan berakibat fatal.
Gidion mengatakan, pemukulan di bagian ulu hati korban dilakukan sebanyak 5 kali.
Hal tersebut berlangsung hingga korban pingsan dan terjatuh.
Karena panik, para senior itu meminta rekan Putu atau empat orang mahasiswa tingkat satu tadi keluar dari toilet.
"Di kamar mandi itu ada 5 orang (junior), korban adalah yang mendapatkan pemukulan pertama dan yang empat (rekannya) belum sempat (ditindak senior)," ucapnya.
Mengetahui korban pingsan, pelaku bersama empar renannya tadi panik, kemudian membawa korban ke ruang kelas, yang berada di samping toilet tempat kejadian perkara (TKP).
Lalu, pelaku melakukan penyelamatan dengan memasukkan tangan di bagian mulut, tapi korban meninggal dunia.
Sebab, hal tersebut mengakibatkan organ vital korban tidak mendapatkan asupan oksigen.
Sebagian artikel ini telah tayang di TribunJakarta.com dengan judul Senior yang Pukuli Junior hingga Tewas di STIP Berdalih Hukum Korban, Baju Olahraga Jadi Alasan
(Tribunnews.com/Rifqah/Ibriza Fasti) (Tribunjakarta.com/Gerald Leonardo)