Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribun

Cak Imin Ingatkan Revisi UU Penyiaran Tak Boleh Mengamputasi Kebebasan Pers

Muhaimin Iskandar atau Cak Imin, berharap Revisi UU Penyiaran dapat menampung seluruh aspirasi masyarakat dan insan media. 

Penulis: Chaerul Umam
Editor: Theresia Felisiani
zoom-in Cak Imin Ingatkan Revisi UU Penyiaran Tak Boleh Mengamputasi Kebebasan Pers
Tribunnews.com/Chaerul Umam
Ketua Umum DPP PKB sekaligus mantan Cawapres, Muhaimin Iskandar alias Cak Imin. Muhaimin Iskandar berharap Revisi UU Penyiaran dapat menampung seluruh aspirasi masyarakat dan insan media.  

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Ketua Umum Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) Muhaimin Iskandar atau Cak Imin, berharap Revisi UU Penyiaran dapat menampung seluruh aspirasi masyarakat dan insan media. 

Dia menyebut UU Penyiaran harus mampu mengatasi tantangan jurnalisme dalam ruang digital tanpa mengancam kebebasan berekspresi.

Cak Imin paham betul pentingnya kebebasan berpendapat bagi masyarakat dan pers. 

Sebab dirinya pernah bekerja sebagai jurnalis ketika menjabat Kepala Litbang Tabloid Detik pada 1993 dan tempatnya bekerja tersebut mengalami pembredelan oleh Orde Baru. 

"Pers adalah salah satu pilar demokrasi. Jika kebebasan pers dibatasi, artinya kita juga mengekang demokrasi. Maka dari itu, saya titipkan 8 Agenda Perubahan kepada presiden terpilih, pak Prabowo, yang isinya dengan tegas meminta agar kualitas demokrasi diperkuat, sekaligus menjamin kebebasan pers, Kebebasan Pers pada dasarnya adalah kontrol untuk hal yang lebih baik," kata Gus Imin, dalam keterangannya Kamis (16/5/2024).

"Sejauh ini, revisi UU Penyiaran masih berupa draf. Artinya, masih ada waktu untuk menyerap dan mendengarkan seluruh aspirasi masyarakat dan teman-teman media," lanjutnya.

Wakil Ketua DPR RI itu mengatakan, melarang penyiaran program investigasi, misalnya, sama saja dengan membunuh jurnalisme. 

Berita Rekomendasi

Mengingat kabar-kabar pendek seperti breaking news atau info viral relatif sudah diambil alih media sosial, maka jurnalisme sangat diandalkan dalam melahirkan informasi yang panjang, lengkap, dan mendalam.

"Mosok jurnalisme hanya boleh mengutip omongan jubir atau copy paste press release? Ketika breaking news, live report bahkan berita viral bisa diambil alih oleh media sosial, maka investigasi adalah nyawa dari jurnalisme hari ini," ujarnya. 

“Dalam konteks hari ini, melarang penyiaran program investigasi dalam draf RUU Penyiaran pada dasarnya mengebiri kapasitas paling premium dari insan pers, sebab investigasi tidak semua bisa melakukannya,” ujarnya.

Baca juga: Roy Suryo: Ada Apa Apanya Draft UU Penyiaran?

Cak Imin mencontohkan, Program Buka Mata dari Narasi TV, Program Bocor Alus dari Tempo atau film dokumenter Dirty Vote yang tayang di kanal Youtube Watchdoc. 

Ketika dirilis, Dirty Vote mampu memberikan perspektif dan informasi penting yang dibutuhkan publik dalam kontesasi Pemilihan Presiden 2024.

"Dirty Vote, Buka Mata dan Bocor Alus adalah salah satu produk jurnalisme investigasi yang mampu memenuhi kebutuhan publik akan informasi yang kredibel. Karya-karya seperti ini justru perlu kita dukung karena akan membawa kebaikan bagi bangsa. Sama halnya dengan karya-karya kreatif lain yang hanya dapat muncul jika diberi ruang kebebasan," ujarnya.

Lebih lanjut, Cak Imin memahami pentingnya kemampuan masyarakat dalam memilah berita yang kredibel di tengah gempuran banjir informasi melalui sosial media dan berbagai platform penyiaran.

"Revisi UU Penyiaran harus mampu melindungi masyarakat dari hoaks dan misinformasi yang semakin merajalela, tanpa mengamputasi kebebasan pers. Masyarakat juga berhak untuk akses terhadap informasi yang seluas-luasnya. Tidak Boleh ada sensor atas jurnalisme dan ekspresi publik," pungkasnya.

Sebelumnya, Ketua Dewan Pers Ninik Rahayu menyatakan pihaknya bersama seluruh konstituen menolak Rancangan Undang-undang (RUU) Penyiaran yang tengah ramai diperbincangkan.

Ia mengkritik penyusunan RUU Penyiaran karena tak memasukkan UU Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers dalam konsideran.

"(Ini) mencerminkan bahwa tidak mengintegrasikan kepentingan lahirnya jurnalistik yang berkualitas sebagai salah satu produk penyiaran termasuk distorsi yang akan dilakukan melalui saluran platform," kata dia di Gedung Dewan Pers, Jakarta pada Selasa (14/5/2024).

Baca juga: RUU Penyiaran Tuai Kritik, DPR Minta Waktu Konsultasi Sikapi Masukan Dari Insan Pers

Selain itu, ia juga memandang RUU Penyiaran menyebabkan pers tidak merdeka, independen, serta tak akan melahirkan karya jurnalistik yang berkualitas.

"Karena dalam konteks pemberitaan, Dewan Pers berpandangan perubahan ini jika diteruskan sebagian aturan-aturannya akan menyebabkan pers menjadi produk pers yang buruk, pers yang tidak profesional dan tidak independen," kata dia.

Menurutnya, proses RUU Penyiaran menyalahi Putusan MK Nomor 91/PUU-XVIII/2020 yakni penyusunan sebuah regulasi yang harus meaning full patricipation.

"Maknanya apa? Harus ada keterlibatan masyarakat, hak masyarakat untuk didengar pendapatnya, hak masyarakat untuk dipertimbangkan pendapatnya," kata dia.

Ia mengatakan Dewan Pers dan konstituen juga tidak dilibatkan dalam proses penyusunan RUU Penyiaran.

Sementara secara substantif, ia menegaskan RUU Penyiaran sangat bertentangan dengan Pasal 4 dalam UU Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers.

Sebab, lanjut dia, RUU Penyiaran mengatur larangan untuk menyiarkan konten ekslusif jurnalisme investigasi.

"Karena kita sebetulnya dengan UU 40 tidak lagi mengenal penyensoran, pembredelan dan pelarangan-pelarangan penyiaran terhadap karya jurnalistik berkualitas," ungkap Ninik.

Baca juga: TB Hasanuddin Tegaskan DPR Tak Ada Niat Berangus Kebebasan Pers Lewat RUU Penyiaran

Kemudian, terkait penyelesaian sengketa jurnalistik dalam RUU Penyiaran justru akan dilakukan lembaga yang tidak punya mandat terhadap penyelesaian etik karya jurnalistik.

"Mandat penyelesaian karya jurnalistik itu ada di Dewan Pers dan itu dituangkan dalam undang-undang," ungkap Ninik.

Ninik meminta agar penyusunan peraturan perundang-undangan perlu dilakukan harmonisasi agar tidak tumpang tindih.

Terlebih, kata dia, pengaturan penyelesaian sengketa jurnalistik juga diatur dalam Peraturan Presiden Nomor 32 tahun 2024.

"Pemerintah saja mengakui, kenapa di dalam draf ini penyelesaian sengketa terkait dengan jurnalistik justru diserahkan kepada penyiaran?" imbuh Ninik.

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
© 2024 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas