Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribun

Cawe-cawe Politik Lewat Revisi UU MK Dinilai Bisa Runtuhkan Independensi Mahkamah Konstitusi

Apabila dilihat dari level hukum, kata dia, maka MK didesain untuk melindungi dan menegakkan norma-norma konstitusi. 

Penulis: Gita Irawan
Editor: Acos Abdul Qodir
zoom-in Cawe-cawe Politik Lewat Revisi UU MK Dinilai Bisa Runtuhkan Independensi Mahkamah Konstitusi
unpad.ac.id
Guru Besar Ilmu Hukum Universitas Padjadjaran (Unpad), Susi Dwi Harijanti. 

Laporan Wartawan Tribunnews.com, Gita Irawan

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Intervensi atau cawe-cawe politik pembentuk Undang-Undang (pemerintah dan DPR) melalui revisi keempat Undang-Undang Mahkamah Konstitusi (UU MK) dinilai bisa meruntuhkan independensi Mahkamah Konstitusi (MK).

Guru besar hukum tata negara Universitas Padjajaran Prof. Susi Dwi Harijanti, SH., LL.M., Ph.D. memandang reformasi sistem peradilan merupakan bagian integral dan penting dalam konteks Reformasi tahun 1998. 

Hal tersebut, kata dia, salah satunya diperkuat dengan adanya jaminan independensi kekuasaan kehakiman di dalam UUD 1945.

Sebagai kelanjutannya, kata dia, maka dibentuk pengadilan khusus di antaranya MK. 

Apabila dilihat dari level hukum, kata dia, maka MK didesain untuk melindungi dan menegakkan norma-norma konstitusi. 

Sedangkan dalam level politik, lanjut dia, MK didesain untuk melindungi sistem politik yang demokratis dan perlindungan terhadap hak asasi manusia.

Berita Rekomendasi

Namun, menurutnya kenyataan yang terjadi justru terjadi intervensi politik atas independensi MK.

Baca juga: Guru Besar Hukum Tata Negara Unpad Beberkan 7 Alasan RUU MK Perlu Dikritik Tajam

Ia mencatat cawe-cawe politik tersebut setidaknya terjadi saat pembentukan UU nomor 7 tahun 2020 tentang perubahan ketiga UU MK.

Hal itu disampaikannya dalam webinar bertajuk Sembunyi-Sembunyi Revisi UU MK Lagi yang digelar PSHK, STHI Jentera, dan CALS secara daring pada Kamis (16/5/2024).

"Mengapa ini saya katakan sebagai sebuah bentuk intervensi politik? Karena tidak ada perubahan yang substansial, semuanya hanya berkaitan dengan masa jabatan hakim, masa jabatan ketua dan wakil ketua, mengotak-atik syarat umur seseorang itu dapat menjadi hakim konstitusi," kata Susi.

"Itulah yang saya katakan sebetulnya perubahannya tidak substansial. Sebagaimana nanti juga kita lihat di dalam perubahan keempat ini, lagi-lagi perubahannya juga tidak substansial," sambung dia.

Untuk itu, ia mengingatkan pembentuk Undang-Undang (pemerintah dan DPR) untuk mencermati putusan MK nomor 81 tahun 2023 khususnya pada pertimbangan 3.16 ketika akan melakukan perubahan UU MK.

Di dalam pertimbangan itu, ia menggarisbawahi argumen yang menyatakan Mahkamah perlu menegaskan setidaknya terdapat batasan atau rambu-rambu yang harus dijadikan pedoman oleh pembentuk Undang-Undang. 

Batasan itu, lanjut dia, antara lain perubahan UU tidak boleh merugikan subjek yang menjadi adresat dari substansi perubahan UU dimaksud. 

Baca juga: PDIP Minta Revisi UU Kementerian Bukan untuk Bagi-bagi Kekuasaan

Khusus berkenaan dengan UU MK terutama berkenaan dengan persyaratan usia, kata dia, perubahan tersebut tidak boleh merugikan hakkm konstitusi yang sedang menjabat.

"Artinya bila mana pembentuk undang-undang berkehendak untuk mengubah persyaratan selain persyaratan yang diatur dalam UUD 1945 termasuk perubahan masa jabatan atau periodesasi. Perubahan tersebut haruslah diberlakukan bagi hakim konstitusi yang diangkat setelah UU tersebut diubah," kata Susi.

"Ini adalah pengingat sebetulnya bagi pembentuk UU ketika akan melakukan perubahan UU MK," sambung dia.

Susi juga mengemukakan sejarah yang mencatat upaya cawe-cawe politik secara terselubung terhadap independensi lembaga kehakiman pernah terjadi melalui RUU Reformasi Prosedur Peradilan di Amerika Serikat pada tahun 1937 atau yang lebih dikenal dengan "court packing plan".

Sejarah mencatat strategi court packing tidak dapat dilepaskan dari hasrat Presiden AS saat itu Franklin D Roosevelt untuk melakukan penambahan jumlah hakim di Mahkamah Agung AS untuk mendapat persetujuan terhadap serangkaian kebijakan Rooosevelt yang disebut Undang-Undang New Deal.

Namun menurutnya, dalam konteks RUU MK saat ini strategi court packing tersebut harus ditafsirkan lebih luas dari hanya sekadar menambah jumlah hakim.

"Tetapi juga termasuk setiap usaha memanipulasi keanggotaan hakim untuk tujuan yang bersifat partisan. Ini adalah isu kedua yang juga harus kita perhatikan dengan sangat hati-hati," kata dia.

"Jangan sampai ketentuan pasal 23(A) itu merupakan court packing yang terselubung dari pembentuk UU. Karena apa? Karena itu merupakan usaha untuk memanipulasi keanggotaan hakim, membership dari hakim di sebuah pengadilan. Untuk tujuan apa? Yaitu untuk tujuan yang bersifat partisan," sambung dia.

Ketua Majelis Hakim MK Suhartoyo memimpin sidang sengketa pemilu 2024 di Gedung MK, Jakarta Pusat, Senin (22/4/2024). Sidang dengan agenda putusan perselisihan hasil pilpres 2024 dihadiri para pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden Anies Baswedan dan Muhaimin Iskandar serta Ganjar Pranowo dan Mahfud MD. Tribunnews/Jeprima
Ketua Majelis Hakim MK Suhartoyo memimpin sidang sengketa pemilu 2024 di Gedung MK, Jakarta Pusat, Senin (22/4/2024). Sidang dengan agenda putusan perselisihan hasil pilpres 2024 dihadiri para pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden Anies Baswedan dan Muhaimin Iskandar serta Ganjar Pranowo dan Mahfud MD. Tribunnews/Jeprima (Tribunnews/JEPRIMA)

Ia mengatakan ketentuan dalam pasal 23A RUU MK dapat ditafsirkan maksudnya adalah agar lembaga pengusul hakim konstitusi (presiden, DPR, dan Mahkamah Agung) dapat mengevaluasi hakim konstitusi yang mereka tunjuk.

Oleh karena itu ia khawatir ketentuan pasal 23A dalam RUU MK dapat menjadi praktik court packing terselubung yang dapat dimanfaatkan lembaga pengusul hakim konstitusi.

Lembaga pengusul hakim konstitusi dikhawatirkannya dapat menggunakan ketentuan dalam pasal 23A RUU MK untuk melakukan pembalasan terhadap hakim-hakim konstitusi yang sudah menjatuhkan putusan atau menyatakan dissenting opinion yang tidak disukai oleh pihak-pihak yang mengusulkan.

"Oleh karena itu, ketika akan dilakukan evaluasi maka pertanyaan kita poin-poin, standard, atau ukuran apa yang akan digunakan oleh lembaga pengusul itu dalam rangka melakukan evaluasi. Dalam pandangan saya evaluasi ini tidak dilakukan oleh setiap lembaga pengusul?" kata Susi.

Baca juga: 4 Saksi Kasus Korupsi SYL Dapat Perlindungan LPSK, Keempatnya Nempel Bos NasDem Sehari-hari

Untuk itu, ia mengutip salah satu tulisan Eric Hamilton dalam jurnal Standford Law Review tahun 2012 berjudul Politcizing the Supreme Court.

Kutipan tersebut, kata dia, bermakna politisasi pengadilan berbahaya karena membuat masyarakat menjadi rentan terhadap perebutan kekuasaan oleh cabang-cabang politik.

"Dan jika pengadilan kehilangan otoritas untuk memeriksa kekuasaan politik dan membuat putusan yang tidak populer maka ia tidak dapat menegakkan konstitusi dengan efektifitas yang sama," sambung dia.

Untuk itu, ia meminta pembentuk undang-undang untuk menghentikan upaya politisasi terhadap MK agar independensi MK dapat kembali seperti semula.

Namun perkembangan independensi pengadilan, kata dia, merupakan fenomena multi-dimensi yang tergantung pada sejumlah kondisi.

Kondisi-kondisi tersebut antara lain tipe rezim yang berkuasa, level kompetisi politik dapam rezim yang berkuasa, dan potensi kepercaan antar kelompok masyarakat secara keseluruhan.

"Sebagai penutup, saya akan mengatakan hentikan politisasi untuk memgembalikan independensi MK," kata dia.

Fenomena Hakim Konstitusi Aswanto

Diberitkan sebelumnya, mantan Ketua Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) ad hoc, Jimly Asshiddiqie pernah menyinggung soal pencopotan hakim Aswanto oleh DPR RI dan menggantikannya dengan Guntur Hamzah.

Ia awalnya mengatakan, MK dibentuk untuk memastikan terselenggaranya kedaulatan rakyat.

Jimly menjelaskan MK berisikan 9 hakim, dengan komposisi hakim 3 orang diajukan pemerintah, 3 diajukan DPR RI, dan 3 diajukan Mahkamah Agung (MA).

DPR, pemerintah, dan MA, kata dia, hanya bertugas untuk menyeleksi orang untuk diajukan menjadi hakim MK.

Sehingga, kata dia, hakim konstitusi bukan berasal atau dari lembaga tersebut, melainkan diajukan setelah melalui proses seleksi.

Meski demikian, kata dia, hal tersebut justru disalahartikan oleh DPR. 

Sehingga, lanjut dia, DPR menganggap berhak mencopot hakim konstitusi Aswanto dan menggantinya dengan M Guntur Hamzah.

Hal itu disampaikan Jimly, dalam sidang pemeriksaan laporan pelanggaran kode etik dan perilaku hakim, di Gedung Mahkamah Konstitusi (MK), Jakarta Pusat, Jumat (3/11/2023).

"Di-recall. Tidak ada dalam sejarah dunia hakim di-recall. tidak ada. kalau itu dibenarkan, maka presiden juga berhak me-recall, Mahkamah Agung juga berhak me-recall, itu kasus Prof Aswanto (dicopot oleh DPR) itu," sambungnya.

Baca juga: PDIP Minta Revisi UU Kementerian Bukan untuk Bagi-bagi Kekuasaan

Langkah DPR RI mencopot Aswanto sebagai hakim konstitusi sebelumnya dinilai kontroversial dan dianggap melanggar Pasal 23 ayat 4 UU 7 Tahun 2020 tentang MK.

Dalam pasal tersebut diterangkan, pemberhentian hakim MK hanya dapat dilakukan melalui Keputusan Presiden atas permintaan Ketua MK. 

Alasannya juga diatur secara limitatif dalam Pasal 23 ayat 1 dan 2 UU MK.

"Pemberhentian dengan hormat dilakukan atas alasan-alasan di antaranya karena meninggal dunia, mengundurkan diri, berusia 70 tahun, dan sakit jasmani atau rohani," bunyi Pasal 23 ayat 1 UU MK.

Sedangkan, pemberhentian secara tidak hormat, bisa dilakukan jika hakim konstitusi dipidana penjara sesuai dengan putusan inkracht pengadilan, melakukan perbuatan tercela, tidak menghadiri persidangan tanpa alasan yang sah, melanggar sumpah atau janji jabatan, dan sengaja menghambat MK memberi putusan.

Pemerintah dan DPR Sepakat Bawa Ke Paripurna

Diberitakan juga sebelumnya Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan TNI (Purn) Hadi Tjahjanto mengatakan pemerintah menerima hasil pembahasan Rancangan Undang-Undangan tentang Perubahan Keempat atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (RUU MK) di tingkat Panitia Kerja (Panja).

Atas nama Pemerintah, ia mengatakan sepakat untuk meneruskan hasil pembahasan RUU itu ke sidang Paripurna DPR RI.

Hal tersebut disampaikannya saat menghadiri Rapat Kerja dengan Komisi III DPR Pembahasan Pengambilan Keputusan Tingkat I terhadap RUU tentang Perubahan Keempat atas UU Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi di Gedung DPR RI, Jakarta pada Senin (13/5/2024). 

"Pemerintah sepakat untuk dapat meneruskan pembicaraan dan pengambilan keputusan tingkat II terhadap RUU Mahkamah Konstitusi di Sidang Paripurna DPR-RI," kata Hadi dalam keterangan resmi Humas KemenkonPolhukam RI pada Senin (13/5/2024). 

Ia menyatakan berbagai poin penting dari perubahan atas UU MK yang telah dibahas bersama-sama akan semakin memperkokoh dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

Selain itu, kata dia, hal itu juga akan semakin meneguhkan peran dan fungsi MK sebagai penjaga konstitusi negara (guardian of the constitution).

"Pemerintah berharap kerja sama yang telah terjalin dengan baik antara DPR RI dan Pemerintah, dapat terus berlangsung, untuk terus mengawal tegaknya negara kesatuan yang kita cintai bersama," kata dia. 

Rapat kerja tersebut dipimpin Wakil Ketua Komisi III DPR RI dari Fraksi Partai Golongan Karya (Golkar) Adies Kadir dan Wakil Ketua Komisi III DPR RI dari Fraksi Partai Gerindra Habiburokhman.

Dilansir dari laman resmi DPR RI, Komisi III DPR RI dan pemerintah sepakat RUU MK dilanjutkan pada Pembicaraan Tingkat II dalam rapat Paripurna DPR RI. 

Adies disebut sebelumnya telah meminta persetujuan dari para Anggota Komisi III dan Menteri Polhukam saat raker di Nusantara II, Senayan, Jakarta pada Senin (13/5/2024).

"Kami meminta persetujuan kepada Anggota Komisi III dan Pemerintah, apakah pembahasan RUU tentang Mahkamah Konstitusi dapat dilanjutkan pada Pembicaraan Tingkat II dalam Rapat Paripurna," kata Adies.

Dilaporkan, Adies telah menyampaikan bahwa pada 29 November 2023 lalu Panja Komisi III DPR RI dan Pemerintah telah menyetujui DIM RUU MK dalam rapat.

DPR dan pemerintah, kata dia, saat itu memutuskan bahwa pembahasan RUU tentang Mahkamah Konstitusi dapat langsung dilanjutkan pada Pengambilan Keputusan Pembicaraan Tingkat I atau Rapat Kerja di Komisi III.

Saat itu, panja disebut telah melaporkan hasil pembahasannya.

Selain itu, fraksi-fraksi melalui perwakilannya juga disebut telah menyampaikan pendapat akhir mini fraksi, serta menandatangani naskah RUU MK saat itu.

Akan tetapi, pihak Pemerintah disebut belum memberikan pendapat akhir mini dan belum menandatangani naskah RUU tentang Mahkamah Konstitusi.

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
© 2025 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas