Karen Agustiawan Ungkap Alasannya Minta JK Jadi Saksi Meringankan di Sidang Korupsi Pertamina
Karen mengatakan JK akan diminta menerangkan terkait kebijakan pemerintah yang ada pada periode peristiwa korupsi yang menyeretnya sebagai terdakwa.
Penulis: Ashri Fadilla
Editor: Dewi Agustina
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Ashri Fadilla
TRIBUNNEWS.COM JAKARTA - Mantan Direktur Utama Pertamina, Galaila Karen Kardinah atau Karen Agustiawan membeberkan alasannya meminta Wapres ke-10 dan 12 Jusuf Kalla menjadi saksi a de charge atau meringankan.
Karen mengatakan JK akan diminta menerangkan terkait kebijakan pemerintah yang ada pada periode peristiwa korupsi yang menyeretnya sebagai terdakwa.
Baca juga: Besok JK jadi Saksi Meringankan Sidang Korupsi LNG Karen Agustiawan
"Soal kebijakan saja ya. Soal kebijakan pemerintah yang saat itu diambil seperti apa," kata Karen yang duduk di kursi pengunjung, menunggu persidangan, Kamis (16/5/2024) di Pengadilan Tipikor Jakarta dimulai.
Namun secara rincinya, Karen enggan membeberkan lebih lanjut.
Dia lebih memilih untuk menunggu persidangan dimulai.
"Nanti saja yah. Lihat dinamikanya di persidangan ini," katanya.
Pada kesempatan ini, wanita berhijab yang mengenakan gamis hitam itu mengaku sudah mengenal JK sejak lama.
"Dari zaman LPG 3 kilo juga sudah kenal," ujarnya.
Sebagai informasi, Karen dalam perkara ini telah didakwa jaksa penuntut umum KPK melakukan tindak pidana korupsi terkait proyek pengadaan LNG di Pertamina periode 2011-2021.
Baca juga: Karen Minta Jokowi Batalkan Sisa Kontrak Pengadaan LNG Corpus Christi, Ini Alasannya
Jaksa mendakwa perbuatan Karen itu merugikan keuangan negara sebesar 113,8 juta dolar AS atau Rp1,77 triliun.
Katanya, tindak pidana itu memperkaya Karen bersama SVP Gas and Power PT Pertamina periode 2013-2014, Yenni Andayani dan Direktur Gas PT Pertamina 2012-2014, Hari Karyuliarto sebesar Rp 1,09 miliar dan 104.016 dolar AS. Perbuatan itu juga memperkaya Corpus Christi Liquefaction (CCL) sebesar 113,83 juta dolar AS.
Menurut jaksa, PT Pertamina melakukan pengadaan LNG untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri pada periode 2011-2021.
Namun Karen tidak meminta tanggapan tertulis kepada Dewan Komisaris PT Pertamina dan persetujuan Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS).
Meski tanpa tanggapan dewan komisaris dan persetujuan RUPS, Yenni mewakili Pertamina menandatangani LNG sales and purchase agreement dengan Corpus Christu Liquefaction.
Kemudian, Hari Karyuliarto menandatangani pengadaan LNG tersebut untuk tahap dua, yang juga tidak didukung persetujuan Direksi di PT Pertamina dan tanggapan tertulis dari Dewan Komisaris dan persetujuan RUPS PT Pertamina.
Selain itu, pengadaan itu dilakukan tanpa adanya pembeli LNG yang telah diikat dengan perjanjian.
Dalam perkara ini Karen didakwa melanggar Pasal 3 juncto Pasal 18 UU Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP juncto Pasal 64 ayat (1) KUHP.