Polemik Revisi UU Penyiaran: PWI Pusat Cerita Suasana Kebatinan DPR Tentang Kemerdekaan Pers
Polemik wacana revisi Undang-Undang Penyiaran, Ketua Umum PWI Pusat Hendry Ch Bangun menceritakan suasana kebatinan DPR tentang kemerdekaan pers.
Penulis: Gita Irawan
Editor: Theresia Felisiani
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Terkait polemik wacana revisi Undang-Undang Penyiaran, Ketua Umum Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Pusat Hendry Ch Bangun menceritakan suasana kebatinan DPR tentang kemerdekaan pers.
Ia mengatakan selama enam tahun menjadi anggota Dewan Pers sering melakukan rapat dengan Komisi I DPR.
Menurutnya, suasana kebatinan yang ia tangkap dari anggota DPR di dalam rapat-rapat tersebut adalah mereka anti kemerdekaan pers.
Hal tersebut disampaikannya dalam Diskusi Publik IJTI bertema Menyoal Revisi UU Penyiaran yang Berpotensi Mengancam Kemerdekaan Pers di Hall Dewan Pers Jakarta pada Rabu (15/5/2024).
"Suasana kebatinan di DPR itu memang anti kemerdekaan pers. Ini jelas sekali. Jadi kalau misalnya setelah kita menyampaikan presentasi begitu, kalau 8 penanya, 7 pasti mengkritik pers," kata Hendry dikutip dari kanal Youtube KOMPASTV pada Rabu (15/5/2024).
"Ada misalnya yang mengatakan begini; 'Atur dong itu pers, masak saya disebut nggak suka sama cucu Jokowi?'. Kalau kita mengatakan silakan mengadu, (dijawab) 'Percuma mengadu, paling saja permintaan maaf, hak jawab. Nggak cukup'," sambung dia.
Ia enggan menyebut fraksi dari partai mana yang mengatakan hal tersebut dalam rapat.
Namun, menurut Hendry, para anggota DPR tersebut memandang pers telah kebablasan.
"Nggak usah disebut fraksinya lah. Tapi kalau orang-orangnya itu, ya semuanya begitu. Cara mereka memandang kemerdekaan pers itu dalam istilah mereka memang pers ini kebablasan. Ya itu suasana kebatinan," kata dia.
Baca juga: Indeks Kemerdekaan Pers 2023 Turun, Kekerasan Terhadap Wartawan dan Media Jadi Satu Indikatornya
Ia juga menceritakan pada periode pertamanya sebagai anggota dewan pers sekira tahun 2016 sampai 2019.
Hendry mengungkapkan dirinya dan anggota Dewan Pers lainnya pernah dilobi oleh anggota DPR perihal gaji anggota Dewan Pers.
Saat itu, kata dia, dirinya didesak untuk bekerja karena dinilai telah digaji dengan bayaran yang tinggi.
"Di periode pertama saya itu 2016-2019, ketika makan siang, kami dilobi itu. Karena mereka mengatakan 'Dewan Pers kerja dong, kalian sudah digaji tinggi. Kemudian waktu itu Stanley menjawab 'Kami ini nggak digaji, kami ini bekerja paruh waktu, karena digaji oleh perusahaan masing-masing'," kata dia.
Mendengar hal itu, anggota DPR tersebut kemudian menyatakan niatnya untuk menaikan gaji setara dengan anggota Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) melalui revisi aturan.
Ia mengungkapkan saat itu honor Anggota Dewan Pers sekira lima kali lebih kecil dibandingkan komisioner KPI.
"Kita bilang, 'sama teman-teman di Komisi I ini kita percaya nih. Begitu dibawa ke pleno, hancur sudah. Pasti selain nambah gaji anggota Dewan Pers, pasti banyak masuk pasal-pasal terutama izin, dan terutama lagi fit and proper test," kata dia.
"Jadi memang mereka (anggota DPR) ingin sekali agar anggota Dewan Pers ini kayak KPI dong, kita yang memilih. Dan kita di sini tentu saja adalah kolaborasi, atau pertemanan paket antar partai," sambung dia.
Menurutnya, suasana kebatinan anggota DPR yang demikian membuat masyarakat pers pada umumnya belum mau merevisi Undang-Undang Pers.
"Percuma. Kita masukan 2 pasal, nanti keluar 12 pasal inisiatif DPR. Jadi menurut saya ini hal yang saya kira, begitu melihat ada kesempatan, 'wah ini RUU sedang dibahas ini, masuk barang itu. Kesempatan kita ini membatasi'," kata dia.
"Istilah sopannya kan mengatur, padahal sebetulnya mengatur itu, ya mengatur lalu lintas saja ada diskresi juga di situ. Jadi suasana kebatinan ini yang juga akan ikut mempengaruhi," sambung dia.
Dewan Pers Menolak
Diberitakan sebelumnya, Ketua Dewan Pers Ninik Rahayu menyatakan pihaknya bersama seluruh konstituen menolak Rancangan Undang-undang (RUU) Penyiaran yang tengah ramai diperbincangkan.
Ia mengkritik penyusunan RUU Penyiaran karena tak memasukkan UU Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers dalam konsideran.
"(Ini) mencerminkan bahwa tidak mengintegrasikan kepentingan lahirnya jurnalistik yang berkualitas sebagai salah satu produk penyiaran termasuk distorsi yang akan dilakukan melalui saluran platform," kata dia di Gedung Dewan Pers, Jakarta pada Selasa (14/5/2024).
Selain itu, ia juga memandang RUU Penyiaran menyebabkan pers tidak merdeka, independen, serta tak akan melahirkan karya jurnalistik yang berkualitas.
"Karena dalam konteks pemberitaan, Dewan Pers berpandangan perubahan ini jika diteruskan sebagian aturan-aturannya akan menyebabkan pers menjadi produk pers yang buruk, pers yang tidak profesional dan tidak independen," kata dia.
Menurutnya, proses RUU Penyiaran menyalahi Putusan MK Nomor 91/PUU-XVIII/2020 yakni penyusunan sebuah regulasi yang harus meaning full patricipation.
"Maknanya apa? Harus ada keterlibatan masyarakat, hak masyarakat untuk didengar pendapatnya, hak masyarakat untuk dipertimbangkan pendapatnya," kata dia.
Ia mengataka Dewan Pers dan konstituen juga tidak dilibatkan dalam proses penyusunan RUU Penyiaran.
Sementara secara substantif, ia menegaskan RUU Penyiaran sangat bertentangan dengan Pasal 4 dalam UU Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers.
Sebab, lanjut dia, RUU Penyiaran mengatur larangan untuk menyiarkan konten ekslusif jurnalisme investigasi.
"Karena kita sebetulnya dengan UU 40 tidak lagi mengenal penyensoran, pembredelan dan pelarangan-pelarangan penyiaran terhadap karya jurnalistik berkualitas," ungkap Ninik.
Baca juga: Dewan Pers: Penurunan Indeks Kemerdekaan Pers Bukan Disebabkan Pemilu 2024
Kemudian, terkait penyelesaian sengketa jurnalistik dalam RUU Penyiaran justru akan dilakukan lembaga yang tidak punya mandat terhadap penyelesaian etik karya jurnalistik.
"Mandat penyelesaian karya jurnalistik itu ada di Dewan Pers dan itu dituangkan dalam undang-undang," ungkap Ninik.
Ninik meminta agar penyusunan peraturan perundang-undangan perlu dilakukan harmonisasi agar tidak tumpang tindih.
Terlebih, kata dia, pengaturan penyelesaian sengketa jurnalistik juga diatur dalam Peraturan Presiden Nomor 32 tahun 2024.
"Pemerintah saja mengakui, kenapa di dalam draf ini penyelesaian sengketa terkait dengan jurnalistik justru diserahkan kepada penyiaran?" imbuh Ninik.
Respons Pimpinan DPR
Telah diberitakan juga, Wakil Ketua DPR RI Fraksi Partai Gerindra Sufmi Dasco Ahmad menjawab masifnya kritik terhadap draf RUU Penyiaran.
Ia mengungkapkan Komisi I DPR juga telah meminta waktu untuk melakukan konsultasi dari insan pers.
"Saya belum pelajari tetapi memang beberapa temen di Komisi I itu minta waktu untuk konsultasi sehubungan dengan banyaknya masukan-masukan dari temen temen media," kata Dasco di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta pada Selasa (14/5/2024).
Untuk diketahui, satu di antara yang dikritik dalam draf RUU Penyiaran adalag larangan untuk menyiarkan konten ekslusif jurnalisme investigasi.
Larangan itu termuat dalam Pasal 50 B Ayat (2) RUU Penyiaran tertanggal 27 Maret lalu.
Dasco mengatakan hal itu masih dikonsultasikan Komisi I DPR.
"Yang tadi disampaikan mengenai investigasi-investigasi, kan ya namanya juga hal yang dijamin undang-undang ya mungkin kita akan konsultasi dengan kawan-kawan bagaimana caranya supaya semua bisa berjalan dengan baik, haknya tetap jalan, tetapi impact-nya juga kemudian bisa diminimalisir," kata dia.
Ia menambahkan seharusnya tak ada larangan penayangan jurnalisme eksklusif dalam RUU itu.
Namun, lanjut dia, juga perlu dirumuskan terkait dampak dari jurnalisme eksklusif tersebut.
"Seharusnya tidak dilarang, tapi impact-nya gimana caranya kita pikirin supaya kemudian jangan sampai, kan itu kadang kadang engfak semua kan, ada juga yang sebenernya hasil investigasinya benar, tapi ada juga yang kemarin kita lihat juga investigasinya separuh bener, nah itu, jadi kita akan bikin aturannya," kata dia.
Kirim Komentar
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.