KPYKI Khawatir Draft Revisi UU Penyiaran Kekang Kebebasan dan Kreativitas
Ia mempertanyakan, apakah esensi pasal tersebut akan menyasar pada pelaku kreator konten, terutama yang berbasis individu, seperti Podcaster, Tiktoker
Penulis: Eko Sutriyanto
Editor: Acos Abdul Qodir
Laporan Wartawan Tribunnews.com Eko Sutriyanto
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Komunitas Podcaster Youtubers dan Konten Kreator Indonesia (KPYKI) mengkhawatirkan draf revisi Undang-undang Penyiaran yang sedang digodog di DPR RI.
Kekhawatiran itu di antaranya menyangkut Pasal 34F Ayat 2 UU Penyiaran yang mengatur penyelenggara platform digital penyiaran dan/atau platform teknologi penyiaran lainnya wajib melakukan verifikasi konten siaran ke Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) sesuai dengan Pedoman Perilaku Penyiaran (P3) dan Standar Isi Siaran (SIS).
Ketua KPYKI, Yusuf Mars mengatakan, Pasal 34F ayat 2 itu masih perlu diperjelas.
Ia mempertanyakan, apakah esensi pasal tersebut akan menyasar pada pelaku kreator konten, terutama yang berbasis individu, seperti Podcaster, Tiktokers, Influencer atau ditujkan kepada Platform Digital-nya atau kebijakan tersebut diberlakukan untuk media mainstream yang punya platform digital di medsos, seperti di Youtube, Tiktok dan lain sebagainya.
Jika draft revisi UU Penyiaran tersebut menyasar pada individu kreator konten, sangat rijit dan tidak tepat apalagi kebijakan tersebut mensejajarkan perlakuan antara pelaku industri media penyiaran dengan kreator konten.
"Bagaimana teknis verifikasi konten yang akan dilakukan oleh Komisi Penyiaran Indonesia kepada jutaan pengguna media sosial? Menurut data We Are Social, pengguna sosial media di Indonesia per Januari 2024 saja sudah mencapai 139 juta pengguna. Artinya 49,9 persen dari total populasi, bagaimana cara verivikasinya?,” kata Yusuf Mars dalam rilisnya, Sabtu (188/5/2024).
Baca juga: Soal RUU Penyiaran, PDIP Tolak Adanya Pelarangan Jurnalisme Investigasi
Baca juga: Menkominfo Sebut Pemerintah Tak Mau RUU Penyiaran Bungkam Pers di Indonesia
Founder @PadasukaTV itu mengatakan, jika aturan diberlakukan kepada platform digital, seperti youtube, tiktok, dan medsos lainnya tepat, dan itu sudah dilakukan.
“Youtube misalnya, ketika kreator konten akan mempublish vidio ada langkah-langkah verifikasi dan tahapan-tahapannya, termasuk apakah vidio tersebut mengandung hoax, SARA, ujaran kebencian atau tidak, kreator harus mengisi verifikasi tersebut.
Kemudian setelah melewati verifikasi tersebut, konten tersebut baru bisa dipublish sehingga verifikasi konten berjalan sesuai dengan kaidah yang sudah ditentukan oleh regulasi pemerintah. Dan, mekanisme ini sudah berjalan. Jika aturan itu ke arah sana, tentu tidak dipersoalkan. Bunyi pasal tersebut jangan memiliki multi tafsir,” kata Yusuf Mars.
Baca juga: Pengamat Nilai Revisi UU MK dan Kementerian Pesanan Kekuasaan
Yusuf Mars berharap DPR RI dan pihak terkait berharap revisi UU Penyiaran tersebut lebih memperhatikan ekosistem digital yang mulai tumbuh di Indonesia.
Langkah pemerintahan Presiden Jokowi sangat concerent terhadap tumbuhnya ekonomi digital.
Salah satunya, eksosistem yang dibangun Youtube dan Platform Digital lainnya, mendorong terhadap lapangan pekerjaan dan pertumbuhan ekonomi nasional.
“Bisa kita lihat, bagaimana seorang Youtuber di Desa mendapatkan penghasilan dari kontennya dan memiliki kesempatan yang sama dengan orang-orang yang ada di perkotaan.
Ekosistem digital ini mampu menggerakkan ekonomi masyarakat dan ini selaras dengan hasil kajian Dewan TIK Nasional yang memperkirakan bahawa ekonomi digital pada tahun 2024 diperkirakan menyumbang hingga 4,66 persen Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia," katanya.
Kirim Komentar
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.