Mahfud MD Khawatir Rencana Revisi UU MK dan UU Lainnya untuk Kendalikan Kekuatan Masyarakat Sipil
Mahfud MD khawatir rencana pemerintah dan DPR untuk melakukan revisi terhadap sejumlah UU dilakukan untuk mengendalikan kekuatan masyarakat sipil.
Penulis: Gita Irawan
Editor: Theresia Felisiani
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pakar hukum tata negara Mahfud MD khawatir rencana pemerintah dan DPR untuk melakukan revisi terhadap sejumlah Undang-Undang (UU) termasuk di antaranya UU Mahkamah Konstitusi (MK), UU Penyiaran, UU TNI, UU Polri, UU Kementerian dilakukan untuk mengendalikan kekuatan masyarakat sipil.
Menurutnya, fenomena munculnya rencana revisi beberapa undang-undang sekaligus belakangan ini dapat dimaknai sebagai momentum untuk melakukan akumulasi kekuasaan guna bekal pemerintah baru nanti.
Tujuan dari akumulasi kekuasaan, kata dia, adalah untuk bagi-bagi kekuasaan atau kompensasi kue politik bagi mereka yang dianggap berjasa atau untuk merangkul kembali.
Meski menurutnya hal tersebut memiliki sisi positif, namun ia melihat hal itu lebih banyak sisi negatifnya.
Hal itu disampaikannya di kanal Youtube Mahfud MD Official pada Selasa (28/5/2024).
"Tetapi menurut saya lebih banyak tidak (bagus)nya, karena itu nanti akan menimbulkan hal lain yaitu tentang apa? Pengendalian oleh pemerintah terhadap kekuatan-kekuatan masyarakat sipil untuk melakukan atau memberikan kritik yang konstruktif bagi kehidupan berbangsa dan bernegara. Semuanya sudah dipagari dengan UU," kata Mahfud.
Ia juga khawatir langkah tersebut dilakukan untuk memudahkan presiden terpilih Prabowo Subianto sebagai presiden nantinya untuk melakukan langkah-langkah tanpa banyak diinterupsi oleh kritik-kritik, oleh masyarakat sipil, parpol-parpol, aktivis, kampus, dan elemen lainnya.
Ia memandang cara-cara tersebut termasuk cara pandang otoritarianisme di mana hukum dibuat untuk memuluskan kehendak pemerintah.
"Ya alasannya kalau dicari ya demi stabilitas. Zaman orde baru dulu kan begitu. Demi stabilitas nasional kita jangan banyak interupsi. Kita sedang akan take off. Tahu? Take off itu kan istilah naik pesawat. Kalau sedang akan take off anda jangan banyak bergerak, sabuknya dipakai semua. Sehingga kritik-kritik tidak ada," kata dia.
"Stabil memang. Tetapi menyimpan api dalam sekam yang luar biasa dahsyatnya ketika pada akhirnya rakyat tidak tahan lagi ketika menerima perlakuan itu," sambung dia.
Baca juga: Guru Besar Hukum Tata Negara Unpad Beberkan 7 Alasan RUU MK Perlu Dikritik Tajam
Mahfud memandang praktik mengubah atau membuat UU untuk kepentingan tertentu membuat kehendak pemerintah sulit dilawan atau sulit dibantah melalui struktur-struktur yang tersedia.
"Tapi terkadang kita harus memulai dari prasangka. Karena hukum itu kan lahir karena ada prasangka. Kalau tidak ada prasangka dalam kehidupan manusia itu kan tidak perlu hukum. Semua manusia baik, semua pemerintah baik, kan begitu kalau tidak ada prasangka," kata dia.
"Tapi kalau prasangka, ini bisa menjadi penyalahgunaan wewenang setiap ada rencana hukum. Kalau itu dibuat secara tiba-tiba, tanpa analisis yang dalam, itu lalu kita timbul prasangka. Jangan-jangan ini untuk bagi kue politik, hadiah politik, padahal juga ada studi-studi yang belum clear di situ," sambung dia.
Ia menduga nantinya akan terjadi sentralisasi kekuasaan dan aktivitas kritik-kritik masyarakat sipil menjadi mudah dikontrol.
"Mudah juga melakukan cingcay, cingcay maaf ini, kolaborasi antara penjahat dan pejabat korup. Ya kan? Nanti ada orang jahat. 'Diatur saja, nggak usah itu, pakai pasal sekian, ini ada dasar hukumnya sekian, oh ini', dan seterusnya," kata dia.
Ia pun khawatir ke depan akan ada sensor terhadap pemberitaan dan pembungkaman terhadap hakim MK.
Selain itu, ia juga khawatir aparat penegak hukum justru akan menjadi becking bagi penjahat-penjahat.
"Itu yang kita catat dari berbagai peristiwa. Bahwa misalnya ada kejahatan, itu kan kaitannya kemudian dengan aparat ini, aparat itu, backingnya ini, backingnya itu, seperti yang sekarang sedang ditangani oleh Kejaksaan, KPK, dan Kepolisian. Itu kan selalu ada dugaan-dugaan seperti itu," kata dia.
"Misalnya hilangnya satu kasus yang begitu besar. Ini nyetor uang ke sini sekian. Kasusnya hilang, uangnya ada. Ya kan? Gampang menyebut itu," sambung dia.
Baca juga: PKS Desak Usut Kasus Densus 88 Intai Jampidsus: Jangan Sampai Penyelesaian di Balik Layar
Sebagaimana diketahui, saat ini muncul sejumlah polemik di masyarakat terkait dengan rencana revisi beberapa undang-undang (UU) di antaranta UU Mahkamah Konstitusi (MK), UU Penyiaran, UU Polri, dan UU TNI.
Dua UU di antaranya bahkan telah disetujui DPR sebagai usul inisiatifnya dalam Rapat Paripurna ke-18, Masa Persidangan V Tahun Sidang 2023-2024 pada Selasa (28/5/2024).
Dua UU tersebut yakni UU Polri dan UU TNI.
Sementara itu, Pemerintah melalui Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan TNI (Purn) Hadi Tjahjanto menerima hasil pembahasan Rancangan Undang-Undangan tentang Perubahan Keempat atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (RUU MK) di tingkat Panitia Kerja (Panja).
Atas nama Pemerintah, Hadi mengatakan sepakat untuk meneruskan hasil pembahasan RUU itu ke sidang Paripurna DPR RI.
Hal tersebut disampaikannya saat menghadiri Raker dengan Komisi III DPR Pembahasan Pengambilan Keputusan Tingkat I terhadap RUU tentang Perubahan Keempat atas UU Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi di Gedung DPR RI, Jakarta pada Senin (13/5/2024).
"Pemerintah sepakat untuk dapat meneruskan pembicaraan dan pengambilan keputusan tingkat II terhadap RUU Mahkamah Konstitusi di Sidang Paripurna DPR-RI," kata dia di dalam keterangan resmi Humas KemenkonPolhukam RI pada Senin (13/5/2024).
Hadi menyatakan berbagai poin penting dari perubahan atas UU MK yang telah dibahas bersama-sama akan semakin memperkokoh dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Selain itu, kata Hadi, hal itu juga akan semakin meneguhkan peran dan fungsi MK sebagai penjaga konstitusi negara (guardian of the constitution).
"Pemerintah berharap kerja sama yang telah terjalin dengan baik antara DPR RI dan Pemerintah, dapat terus berlangsung, untuk terus mengawal tegaknya negara kesatuan yang kita cintai bersama," kata Hadi.
Rapat kerja tersebut dipimpin Wakil Ketua Komisi III DPR RI dari Fraksi Partai Golongan Karya (Golkar) Adies Kadir dan Wakil Ketua Komisi III DPR RI dari Fraksi Partai Gerindra Habiburokhman.
Dilansir dari laman resmi DPR RI, Komisi III DPR RI dan Adies sebelumnya telah meminta persetujuan dari para Anggota Komisi III dan Menteri Polhukam saat raker di Nusantara II, Senayan, Jakarta pada Senin (13/5/2024).
"Kami meminta persetujuan kepada Anggota Komisi III dan Pemerintah, apakah pembahasan RUU tentang Mahkamah Konstitusi dapat dilanjutkan pada Pembicaraan Tingkat II dalam Rapat Paripurna," kata Adies.
Baca juga: Jurnalis Kota Solo Tolak RUU Penyiaran
Dilaporkan, Adies telah menyampaikan bahwa pada 29 November 2023 lalu Panja Komisi III DPR RI dan Pemerintah telah menyetujui DIM RUU MK dalam rapat.
DPR dan pemerintah, kata dia, saat itu memutuskan bahwa pembahasan RUU tentang Mahkamah Konstitusi dapat langsung dilanjutkan pada Pengambilan Keputusan Pembicaraan Tingkat I atau Rapat Kerja di Komisi III.
Saat itu, panja disebut telah melaporkan hasil pembahasannya.
Selain itu, fraksi-fraksi melalui perwakilannya juga disebut telah menyampaikan pendapat akhir mini fraksi, serta menandatangani naskah RUU MK saat itu.
Akan tetapi, pihak Pemerintah disebut belum memberikan pendapat akhir mini dan belum menandatangani naskah RUU tentang Mahkamah Konstitusi.
Kirim Komentar
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.