Imparsial Desak DPR dan Pemerintah Hentikan Pembahasan Revisi Undang-Undang TNI
Imparsial mendesak DPR dan Pemerintah menghentikan pembahasan Revisi Undang-Undang TNI (RUU TNI).
Penulis: Gita Irawan
Editor: Adi Suhendi
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Gita Irawan
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Imparsial mendesak DPR dan Pemerintah menghentikan pembahasan Revisi Undang-Undang TNI (RUU TNI).
Direktur Imparsial Gufron Mabruri mengatakan dalam draft RUU TNI versi Baleg DPR RI yang diperoleh terdapat usulan perubahan pasal yang bertentangan dengan tata nilai negara demokrasi dan semakin memundurkan capaian reformasi TNI.
Imparsial memandang penetapan revisi UU TNI menjadi RUU usul inisiatif DPR RI bukan hanya langkah yang tergesa-gesa dan cenderung memaksakan, namun juga menunjukkan DPR RI tidak memiliki komitmen untuk menjaga capaian reformasi TNI.
"Penting dicatat, usulan perubahan dalam RUU TNI versi Baleg DPR RI jauh dari kepentingan penguatan profesionalisme TNI bahkan memiliki problem yang serius karena jika sampai diakomodir melegalisasi kembali praktik Dwifungsi TNI seperti yang pernah dijalankan pada era Orde Baru," kata Gufron ketika dikonfirmasi pada Jumat (31/5/2024).
"Sebagai lembaga perwakilan rakyat, DPR RI seharusnya bersikap responsif terhadap kritik dan penolakan yang berkembang di masyarakat, apalagi pembahasan RUU tersebut dilakukan secara tertutup dan minim partisipasi publik sehingga jauh dari kepentingan publik yang lebih luas dan dikhawatirkan sarat dengan transaksi politik kekuasaan," sambung dia.
Baca juga: Draf RUU TNI: Presiden Bisa Perpanjang Masa Dinas Panglima
Berdasarkan draft RUU TNI versi Baleg DPR RI, lanjut dia, terdapat dua usulan perubahan yang problematik.
Pertama, kata dia, perluasan jabatan sipil yang dapat diduduki oleh prajurit TNI aktif.
Hal tersebut, lanjutnya, dapat dilihat pada usulan perubahan Pasal 47 ayat (2) melalui penambahan frasa “serta kementerian/lembaga lain yang membutuhkan tenaga dan keahlian Prajurit aktif sesuai dengan kebijakan Presiden”.
"Penambahan frasa tersebut menjadi berbahaya karena membuka tafsir yang luas untuk memberi ruang kepada prajurit TNI aktif untuk dapat ditempatkan tidak terbatas pada 10 kementerian dan lembaga yang disebutkan di dalam UU TNI," kata dia.
Baca juga: RUU TNI Dinilai Mengembalikan Dwi Fungsi ABRI dan Mengancam Demokrasi, Apa Alasannya?
"Dengan kata lain, Presiden ke depan bisa saja membuat kebijakan yang membuka penempatan prajurit TNI aktif di sejumlah kementerian lain, seperti Kementerian Desa, Kementerian Agama, Kementerian Dalam Negeri, dan lembaga-lembaga negara lainnya," sambung dia.
Usulan perubahan Pasal 47 ayat 2 UU TNI menurutnya jelas akan melegalisasi perluasan praktik Dwifungsi ABRI yang sejatinya secara perlahan mulai dijalankan terutama pada era pemerintahan Presiden Jokowi.
Dengan kata lain, kata dia, usulan perubahan tersebut tidak lebih sebagai langkah untuk melegalisasi kebijakan yang selama ini keliru, yaitu banyaknya anggota TNI aktif yang menduduki jabatan sipil.
"Seperti di Badan Nasional Penanggulangan Bencana, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral dan bahkan di Badan Usaha Milik Negara," kata dia.