Hari Lahir Pancasila, Momentum Refleksi Konsensus Kebangsaan Perkuat Tali Persatuan
Definisi tersebut dinilai relevan dalam rangka mendukung (driving value) upaya menciptakan narasi kerukunan umat beragama sebagai muara konsensus
Penulis: Reynas Abdila
Editor: Acos Abdul Qodir
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Reynas Abdila
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Ikatan Keluarga Alumni Kebangsaan Lemhannas (Ikabnas) menyampaikan rasa syukur dan bangga atas nilai-nilai luhur Pancasila yang telah memperkokoh persatuan bagi bangsa Indonesia dalam rangka memperingati Hari Lahir Pancasila setiap 1 Juni.
Ketua Bidang Kedeputian Organisasi, SDM dan Optimalisasi Anggota Ikabnas, Imam Rozikin mengatakan, ada beragam suku, agama, ras dan berbagai golongan hidup rukun berdampingan juga bergotong royong.
“Sebagai alumni Lemhanas RI (Lembaga Ketahanan Nasional), kami memiliki tanggung jawab besar untuk menjaga, melestarikan dan mengamalkan nilai-nilai Pancasila. Kita patut bangga dengan Pancasila yang mampu mempersatukan bangsa Indonesia dengan segala keragamannya,” ujar Rozikin menanggapi peringatan Hari Lahir Pancasila, Sabtu (1/6/2024).
Lebih lanjut, Rozikin menjelaskan Ikabnas terus aktif dalam menyosialisasikan nilai-nilai Pancasila, di antaranya melalui pengamalan atau mengimplementasikan nilai-nilai Pancasila di kegiatan organisasi maupun pengejawantahannya di komunitas profesi masing-masing anggota di tengah masyarakat.
Baca juga: Hari Lahir Pancasila, Megawati: Pemimpin Berjuang Bukan untuk Kepentingan Pribadi
Imam Rozikin yang juga tengah menempuh pendidikan doktoral di salah satu universitas ternama di Jakarta menyebut, dirinya terdorong untuk memperkuat nilai-nilai Pancasila, salah satunya dengan mengambil topik penelitian disertasi tentang toleransi.
“Disertasi saya berfokus pada upaya memperkuat narasi pemeliharaan kerukunan beragama dalam bingkai ke-bhinneka-tunggal-ika-an yang menjadi kebanggaan bangsa ini di mata dunia,” jelas Rozikin.
Lebih lanjut, Rozikin menyebut dirinya menggunakan teori Narrative Policy Framework dalam mengurai persoalan-persoalan yang dianggap menjadi pokok narasi intoleransi di masyarakat.
“Saya menemukan bahwa narasi intoleransi sebetulnya dipicu dari isu-isu yang sangat spesifik. Namun akibat kurangnya counternarrative yang dilakukan, maka narasi itu berkembang dan menjadi sebuah cerita yang diafirmasi oleh mayoritas dan berbuah pada ekspresi-ekspresi intoleransi," katanya.
Baca juga: Berikut Alasan Pemerintah Ogah Batalkan Potongan Gaji untuk Tapera, Klaim Jalankan Amanat Konstitusi
Dari penelitian itu, Rozikin menilai bahwa gejala-gejala intoleransi sebetulnya bisa untuk dikikis melalui penyelarasan pemahaman mengenai toleransi.
Sehingga, ia menawarkan Bottom-Up Narrative Strategy Approach yang menekankan pada penyusunan strategi mengikis intoleransi melalui komunikasi dengan komunitas masyarakat di level yang paling dasar, misalnya level RT atau Lingkungan.
“Sebagai muara dari komunikasi di level komunitas yang paling spesifik, saya menawarkan formulasi definisi alternatif atas toleransi yakni cara pandang atau sikap menjalankan hak asasi pribadi/kelompok dengan tetap bertindak menenggang atas hak asasi pribadi/kelompok lain," tambahnya.
Dia menambahkan, perumusan definisi alternatif tersebut menjadikan konsep toleransi menjadi lebih spesifik tidak hanya sebagai sikap dan perilaku, melainkan dalam arti yang lebih luas dan selaras antara pokok pemikiran dan dalam manifestasi perbuatan.
Selain itu, definisi tersebut menjadi penegasan atas definisi moderasi beragama sebagai upaya mengejawantahkan esensi beragama yang bersifat moderat.
Kirim Komentar
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.