Peringati Hari Lahir Pancasila, Forum Aktivis Gelar Diskusi Bahas Tantangan Geopolitik
Pengamat militer dan pertahanan Connie Rakahundini Bakrie mengatakan, tren modernisasi pertahanan berpotensi memicu perlombaan senjata meningkatkan
Penulis: Muhammad Zulfikar
Editor: Acos Abdul Qodir
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Dalam rangka memperingati hari kelahiran Pancasila, Forum Aktivis Nasional (FAN) menggelar diskusi publik bertema Desain Baru Geopolitik dan Kekuatan Sumber Daya Indonesia Menghadapi Pertarungan Antar Negara Adikuasa.
Diskusi tersebut berlangsung di kawasan Tegal Parang, Jakarta Selatan, Sabtu (1/6/2024).
Hadir dalam diskusi kali ini antara lain akademisi UI, Hikmahanto Juwana, anggota komisi pertahanan DPR RI Sukamta, pengamat militer dan pertahanan Connie Rakahundini Bakrie, Dekan Fisip lnternational Islamic University Islamabad Pakistan dan Ketua Umum Forum Aktivis Indonesia (FAN) Bursah Zarnubi, mantan anggota DPR RI, Nurhayati Ali Assegaf dan moderator akademisi Unkris Jakarta, Sidratahta Mukhtar.
Ketua Umum Forum Aktivis Nasional (FAN) Bursah Zarnubi mengatakan, pada saat ini setidaknya terdapat beberapa konflik dan perang yang berpotensi meningkat eskalasinya menjadi perang antar bangsa.
Pertama, perang antara Rusia dan Ukraina. Dan kedua, antara Israel dan Palestina.
Baca juga: Bachtiar Nasir: AS Biang Kerok Belum Tercapainya Kemerdekaan Palestina
Perang yang kedua ini dikutuk dunia karena Israel melakukan genosida terhadap rakyat palestina, ditambah konflik Iran-Israel. Selain itu, juga terjadi peningkatan ketegangan di laut China Selatan, China dan Taiwan, Korea Utara dan Korea Selatan.
"Indonesia di era Jokowi dan era Presiden terpilih Prabowo memerlukan telaah dan antisipasi terhadap kemungkinan negara ini menjadi arena perebutan sumberdaya alam yang melimpah, namun belum dikelola dengan baik dan berbasis pada kedaulatan nasional Indonesia. Kebijakan Indonesia sentris dengan hilirisasi, industrialisasi belum memadai untuk mewujudkan Indonesia yang maju dan menjadi 10 besar kekuatan global di 100 tahun Indonesia," ujar Bursah.
"Dialog ini akan merekomendasikan ide dan pemikiran yang berguna bagi desain baru geopolitik Indonesia secara umum dan khusus tentang kebijakan pertahanan keamanan Indonesia ke depan," lanjutnya.
Baca juga: Prabowo Subianto Tanggapi Proposal Gencatan Senjata yang Didukung AS: Langkah yang Tepat
Pengamat militer dan pertahanan Connie Rakahundini Bakrie mengatakan, tren modernisasi pertahanan berpotensi memicu perlombaan senjata meningkatkan ketegangan di kawasan termasuk di Asia Pasifik dimana ada pemain besar utama seperti China dan Amerika.
"Untuk mengantipasi geopolitik ini, negara kawasan dapat secara aktif mencari kerja sama alternatif termasuk pengaturan minilateral. Indonesia harus segera mengubah diri dari pendekatan reaktif passive defence untuk fokus menuju pendekatan offensive defence yang lebih dinamis untuk mendorong visi poros maritim dunia yang mampu menghadapi supremasi aukus yang akan muncul," tegas Connie.
"Kementerian Luar Negeri dan Kementerian Pertahanan harus segera duduk menyusun roadmap baru politik luar negeri dan pertahanan menuju pencapaian target untuk antisipasi resiko ancaman dari persaingan langsung postur dan proyeksi kekuatan di kawasan," tutur Connie.
Hal senada disampaikan anggota Komisi I DPR RI Sukamta.
Dia mengatakan, sistem politik bebas aktif yang dianut indonesia harus bergerak pada visi yang jelas untuk national interest. Sebab, karena dalam RPJM (rencana pembangunan jangka menengah) belum ada national interest yang jelas.
"Negara lain di kawasan telah beralih pada hitech industri, sedangkan kita masih fokus pada pembangunan infrastruktur toll dan saat ini pembangunan IKN. Oke untuk alasan pemerataan ekonomi namun harus dihindari betul jika ini berbasis proyek untuk habis budget akibat kekurangan imajinasi," tutur anggota FPKS DPR ini.
Selain itu, Hikmahanto Juwana selaku Guru Besar UI juga menyoroti geopolitik terkait perang dagang atau trade war antara Tiongkok dan Amerika plus perang Rusia dan Ukraina serta Palestina vs Israel.
"Amerika menceramahi dan mengajari kita tentang HAM dan demokrasi, tetapi mereka sendiri menerapkan standar ganda sesuai kepentingannya sendiri," tutur Hikmahanto.
Kirim Komentar
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.