6 Komentar Respons Amien Rais Usul Presiden Dipilih MPR, Elite Parpol Menolak, Tapi Sosok Ini Setuju
Usulan Ketua MPR RI periode 1999-2004 Amien Rais agar sistem pemilihan presiden dikembalikan ke MPR seperti sebelum era reformasi menuai pro & kontra.
Editor: Wahyu Aji
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Usulan Ketua MPR RI periode 1999-2004 Amien Rais agar sistem pemilihan presiden dikembalikan ke MPR seperti sebelum era reformasi menuai pro dan kontra.
Alasan Amien mendukung usulan itu karena dia merasa naif ketika dulu mengubah sistem pemilihan presiden dari tidak langsung menjadi langsung.
Padahal saat itu dia berharap dengan perubahan itu dapat menekan terjadinya politik uang.
"Jadi mengapa dulu saya selaku ketua MPR itu, melucuti kekuasaannya sebagai lembaga tertinggi yang memilih presiden, dan wakil presiden, itu karena penghitungan kami dulu perhitungannya agak naif," kata Amien usai bersilaturahim dengan pimpinan MPR di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Rabu (5/6/2024).
Amien kemudian meminta maaf jika perubahan sistem pemilihan presiden justru malah membuat praktik demokrasi dengan melibatkan modal uang marak.
"Sekarang saya minta maaf. Jadi dulu, itu kita mengatakan kalau dipilih langsung one man one vote, mana mungkin ada orang mau menyogok 120 juta pemilih, mana mungkin? Perlu puluhan mungkin ratusan triliun. Ternyata mungkin. Nah itu," kata Amien.
Amien pun sepakat bila UUD 1945 kembali diamendemen untuk mengubah aturan pemilihan presiden.
"Itu (politik menyogok) luar biasa. Jadi sekarang kalau mau dikembalikan dipilih MPR, mengapa tidak?" katanya.
Ketua Majelis Syuro Partai Ummat ini mengatakan, masyarakat juga boleh menyampaikan pertimbangannya soal usulan amendemen tersebut.
"Kan nanti orang berpikir, punya pertimbangan, tapi kalau rakyat itu patuhnya biasanya, di Amerika itu ada namanya demokrasi dolarisasi, tapi kalau di Indonesia itu demokrasi rupiahtokrasi," ucap Amien.
Akan tetapi, Amien menekankan supaya amendemen itu dilakukan mencermati kebutuhan zaman.
Dia sepakat demokrasi dengan uang tidak boleh dibiarkan terus berlangsung di Indonesia.
"Saya doakan MPR sekarang ini bisa menunaikan tugasnya dan jadi lembaga tertinggi lagi," kata Amien.
Sedikit kilas balik, pemilihan presiden (Pilpres) secara langsung pertama kali dimulai pada 2004.
Sedangkan sejak pasca Reformasi atau Pemilu 1999, pemilihan presiden dan wakil presiden masih dilakukan melalui mekanisme Sidang Umum MPR.
Baca juga: Amien Rais Jabat Erat Prabowo Jadi Pertanda Gabung? Pernah Saling Dukung hingga Merasa Ditinggalkan
Lalu bagaimana tanggapan elite partai politik terkait usulan Amien Rais tersebut?
1. Demokrat sebut langkah mundur demokrasi
Deputi Bappilu DPP Partai Demokrat, Kamhar Lakumani mengatakan penunjukkan Presiden dari MPR RI hanya mengulang kesalahan yang sama.
Menurut Kamhar, usulan ini sebagai ekspresi frustasi terhadap demokrasi Indonesia.
"Jika mengembalikan Pilpres ke MPR hanya sebagai ekspresi frustasi kita terhadap kehidupan demokrasi kita saat ini, maka ini hanya kembali mengulang kesalahan yang sama. Bahkan bisa lebih buruk lagi," kata Kamhar saat dikonfirmasi, Kamis (6/5/2024).
Ia menuturkan pemilihan presiden dari MPR juga sebagai langkah mundur dalam demokrasi Indonesia.
Apalagi, demokrasi sudah mengalami sejumlah perbaikan sejak reformasi.
"Mengembalikan pemilihan Presiden dan Wakil Presiden ke MPR RI menurut kami menjadi langkah mundur atas derajat dan kualitas demokrasi yang telah terbangun sebagai amanah reformasi," ungkapnya.
Demokrat, kata Kamhar, memahami jika aspirasi penunjukkan Presiden dari MPR sebagai ekspresi kekecewaan atas proses pemilu yang semakin transaksional menjadi politik biaya tinggi.
Ia mengatakan politik biaya tinggi yang terus menerus terjadi ini memang membuat demokrasi distorsif dan hanya memberi karpet merah pada para pemilik modal atau kroni penguasa. Bahkan memangsa para pejuang reformasi dan penggiat demokrasi.
"Kami menilai, untuk pembenahannya mesti dilakukan pendekatan yang sistemik. Mulai dari pembenahan partai politik, mekanisme dan sistem pemilu serta pembangunan kultur demokrasi," katanya.
"Memang tak mudah dan tak bisa instant. Tapi ini yang mesti ditempuh jika kita ingin mewujudkan konsolidasi demokrasi. Demokrasi subtantif yang berkualitas," ujarnya.
2. PDIP sebut bukan solusi
Sekretaris Jenderal (Sekjen) PDIP, Hasto Kristiyanto, menolak jika sistem pemilihan presiden dikembalikan ke MPR.
Pilpres secara langsung memang mengalami banyak kendala seperti pengerahan aparatur negara hingga intimidasi.
Namun, dirinya tak sepakat jika sistem pemilihan presiden dikembalikan ke MPR seperti sebelum era Reformasi.
"Seharusnya kan itu tidak boleh terjadi tetapi demi ambisi kekuasaan, itu kan akhirnya terjadi."
"Tetapi kan solusinya bukan dengan mencabut kedaulatan rakyat itu, tapi melakukan pembenahan-pembenahan," kata Hasto di Sekolah Partai PDIP, Lenteng Agung, Jakarta Selatan, Kamis (6/6/2024).
3. PKS ajak lawan oligarki
Sementara itu, Ketua DPP PKS, Mardani Ali Sera, mengaku memahami usulan pilpres dari MPR RI akibat maraknya politik uang.
Politik uang berbiaya tinggi ini lantas menghadirkan oligarki politik.
"High cost politik, politik berbiaya tinggi ini melahirkan oligarki politik yang rupanya ada bandarnya oligarki sehingga melahirkan interlocking politik atau politik saling kunci karena bandarnya itu biasanya sudah ada titip pesan supaya ada target-targetnya," kata Mardani saat dikonfirmasi, Jumat (7/6/2024).
Ia membeberkan oligarki politik yang terjadi saat ini mengakibatkan kerugian bagi masyarakat.
Pasalnya, para elite politik yang terpilih hanya akan mengedepankan kepentingan bandar oligarki.
Atas dasar itu, Mardani menyebut masalah ini harus segera dilawan.
Akan tetapi, caranya bukan dengan cara mengubah sistem pemilihan langsung menjadi tidak langsung atau melalui MPR RI.
"Pandangan saya melawannya cuma tidak bisa dengan pendekatan yang parsial, tidak bisa cuma dari pemilihan langsung menjadi tidak langsung tetapi harus dikaji bagaimana menghidupkan partai politik, menghidupkan sirkulasi kepemimpinan di partai politik," terang Mardani.
Ia menuturkan salah satu cara untuk memberantas masalah politik uang dengan cara menghidupkan whistle blower yang ada di KPK.
Siapa pun pihak yang melaporkan kasus politik uang memperoleh imbalan dari negara.
"Di KPK itu seorang whistle blower atau peniup pluit yang melaporkan kasus korupsi biasanya dari dalam, sama money politik dari dalam. Itu kalau di KPK itu maksimal bisa mendapatkan 2 persen dari dana negara yang bisa diselamatkan."
"Kalau di UU pemilu kita terbalik. Mereka yang melaporkan money politik bisa diancam money politik juga karena menerima amplop," katanya.
Oleh sebab itu, dirinya mengharapkan penyelesaian politik uang bukan hanya dengan pemilihan presiden dari MPR RI.
"Nah ini yang harus kita panjang kali lebar jadi tidak bisa kalau rumahnya bocor kita geser sofanya. Tapi gentengnya kita tidak perbaiki, jadi betul-betul seksama kita perhatikan," ucapnya.
4. PAN ajak untuk disempurnakan
Wakil Ketua Umum PAN, Viva Yoga Mauladi, juga menolak wacana amendemen UUD 1945 untuk mengembalikan pemilihan presiden lewat MPR RI.
Ia menyatakan pemilihan langsung adalah bagian dari tradisi politik dan budaya demokrasi di Indonesia.
"Jika ada masalah, kendala, kurang sempurna, kita sempurnakan bersama-sama dengan parpol, pemerintah, dan seluruh kekuatan masyarakat," kata Viva kepada Tribunnews.com, Jumat.
Ia menganggap usulan pemilihan presiden lewat MPR biasa saja sebagai ide dan gagasan.
Menurutnya, melalui pemilihan langsung, prinsip-prinsip demokrasi bisa berjalan, seperti one person, one vote, one value.
"Satu orang, siapa pun dia, jabatan apa pun sekolahnya, stratifikasi sosial, punya hak yang sama sepanjang menjadi warga negara Indonesia yang didaftar di DPT," ujar Viva.
Ia membantah alasan politik uang bisa hilang apabila pemilihan presiden dikembalikan ke MPR.
"Tidak bisa begitu, justru mungkin saja akan semakin masif dan semakin besar karena jumlah pemilih semakin sedikit, sehingga mudah untuk dikordinasikan," ucapnya.
Viva menjelaskan bahwa pemilihan langsung merupakan bagian dari pengejawantahan kedaulatan rakyat.
Ia menegaskan apabila ada persoalan penyimpangan kekuasaan, politik uang, dan kendala teknis administratif, maka disempurnakan saja.
"Tetapi adanya kendala teknis itu tidak boleh menjadi alasan untuk merubah prinsip-prinsip demokrasi bahwa suara rakyat adalah suara Tuhan," ungkap Viva.
5. Golkar menolak
Partai Golkar menolak usulan sistem pemilihan presiden kembali dipilih oleh MPR RI.
Ketua DPP Partai Golkar Dave Laksono menegaskan, jika presiden kembali dipilih oleh MPR, demokrasi mengalami setback atau kemunduran.
"Mata itu ada di depan untuk menatap masa depan, kita itu maju terus kearah yang lebih baik, bukan berbalik lihat yang lampau," kata Dave saat dihubungi Tribunnews.com Jumat (7/6/2024).
Lagipula, menurut Dave, masih banyak hal yang harus diperbaiki, ketimbang harus mengembalikan sistem pemilihan presiden ke MPR RI.
"Masih banyak yang harus kita kerjakan demi masa depan yang lebih cerah," tandasnya.
6. Ketua DPD RI mengapresiasi
Ketua Dewan Perwakilan Daerah atau DPD LaNyalla Mahmud Mattaliti menyampaikan apresiasi atas usulan Amien Rais.
Memurut LaNyalla Amien Rais telah memberikan penilaian jujur tentang imbas negatif amandemen konstitusi tersebut.
“Saya apresiasi Pak Amien Rais yang dengan jujur mengakui bahwa amandemen Konstitusi pada 1999-2002 telah kebablasan, sehingga Indonesia seperti tercerabut dari akar budayanya sendiri,” kata LaNyalla dalam keterangan pers yang diterima, Kamis (6/6/2024).
DPD RI di bawah LaNyalla sejauh ini berupaya agar kembali pada Undang-Undang Dasar 1945 naskah asli.
Senator asal Surabaya itu mengusulkan amandemen UUD 45 dengan teknik addendum.
Menurut LaNyalla kembali menjalankan sistem bernegara sesuai rumusan pendiri bangsa bukan berarti kembali ke Orde Baru. Karena, kata dia, baik Orde Lama maupun Orde Baru belum secara murni menjalankan rumusan para pendiri bangsa.
LaNyalla menuturkan Amerika melakukan amandemen 27 kali dengan addendum. Begitu juga India 104 kali dengan addendum. Sehingga tidak mengganti sistem bernegaranya.
Sedangkan Indonesia, amandemen 1999-2002 dilakukan dengan mengganti 95 persen lebih isi pasal-pasal dan menghapus bab penjelasan.
Sehingga sistem bernegara berganti dan tidak lagi derivatif (nyambung) dengan naskah pembukaan konstitusi.
Lebih runyam lagi amandemen saat itu tanpa disertai naskah akademik.
Bukti ini bisa dilihat dari kesimpulan yang disampaikan komisi konstitusi bentukan MPR sendiri, maupun pernyataan beberapa anggota MPR saat itu, termasuk yang belakangan viral video Khofifah Indar Parawansa yang saat itu menjadi anggota MPR dan mengakui bahwa amandemen saat itu tergesa-gesa dan tanpa kajian akademik.
“Jadi intinya tetap perlu dilakukan amandemen, tapi dengan addendum setelah kita kembali ke UUD 1945 naskah asli, karena memang konstitusi asli tersebut masih harus disempurnakan. Tentu selain dengan mengadopsi semangat reformasi, juga harus dilakukan penguatan peran kedaulatan rakyat yang hakiki,” ujar LaNyalla.