Aturan Iklan Tembakau dalam RPP Kesehatan Disebut Bisa Timbulkan Gelombang PHK, Apa Alasannya?
Fabianus berpendapat beleid ini menunjukkan bahwa pembuat regulasi, dalam hal ini Kementerian Kesehatan (Kemenkes) telah bertindak sepihak.
Penulis: Fahdi Fahlevi
Editor: Malvyandie Haryadi
Laporan wartawan Tribunnews.com, Fahdi Fahlevi
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Asosiasi periklanan yang tergabung dalam Dewan Periklanan Indonesia (DPI) menolak sejumlah pasal terkait pelarangan iklan, promosi, dan sponsorship bagi produk tembakau dalam Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) Kesehatan.
Salah satu yang dikritisi dalam RPP Kesehatan adalah pasal yang menetapkan zona bebas iklan produk tembakau pada media luar ruang sebesar radius 500 meter di luar satuan pendidikan dan tempat bermain anak.
"Kami sangat menyesalkan adanya pengaturan media luar ruang yang mengharuskan adanya jarak 500 meter di luar satuan pendidikan dan tempat bermain anak. Hal ini sama saja dengan pelarangan total karena sulit sekali untuk dilaksanakan," ujar Ketua Umum Asosiasi Media Luar-Griya Indonesia (AMLI), Fabianus Bernadi, melalui keterangan tertulis, Kamis (12/6/2024).
Fabianus berpendapat beleid ini menunjukkan bahwa pembuat regulasi, dalam hal ini Kementerian Kesehatan (Kemenkes) telah bertindak sepihak.
Dirinya mengungkapkan tidak ada komunikasi dengan asosiasi periklanan terkait aturan ini.
“Hal-hal seperti ini terjadi karena tidak adanya komunikasi atau pelibatan pemangku kepentingan yang terdampak pada diskusi regulasi, dan sekarang, Menteri Kesehatan (Menkes) terlihat buru-buru merealisasikannya,” katanya.
Dari satu pasal itu saja, kata Fabianus, sektor usaha media luar ruang seperti penyedia jasa iklan melalui baliho, reklame, hingga videotron akan tertekan.
Menurut Fabianus, 44 persen anggota AMLI di seluruh Indonesia terancam gulung tikar dengan adanya aturan pelarangan iklan produk tembakau di RPP Kesehatan tersebut.
“Usaha media luar ruang akan terancam bangkrut dan ini akan menimbulkan gelombang PHK. Padahal, mayoritas dari presentase tersebut justru adalah anggota kami yang skalanya menengah ke bawah,” katanya.
Sementara itu, Ketua Umum Persatuan Perusahaan Periklanan Indonesia (P3I), Janoe Arijanto, mengungkapkan selama ini pelaku industri periklanan telah menaati peraturan dalam mengiklankan produk tembakau dan turunannya.
Adanya rencana aturan baru di RPP Kesehatan terkait pengetatan jam tayang iklan maupun area beriklan produk tembakau hanya akan memunculkan konsekuensi dan berdampak signifikan pada bisnis periklanan.
“Pengaturan iklan rokok sendiri sudah diatur dalam PP 109 Tahun 2012, di mana pengaturannya sudah cukup komprehensif dan kami pun telah patuh terhadap regulasi tersebut,” ucapnya.
Janoe berharap agar pemerintah dapat meninjau ulang aturan tembakau di RPP Kesehatan dan melibatkan pelaku industri periklanan dalam menentukan arah kebijakan.
Langkah ini agar kebijakan yang disahkan nantinya dapat berimbang dan ideal.
"Kita ingin mendiskusikan hal ini dengan pemerintah karena serapan tenaga kerja di industri periklanan kan banyak yang berhubungan secara langsung dengan produksi iklan dan penayangan iklan,” pungkasnya.