Mahasiswanya Minta MK Panggil Jokowi, Podomoro University: Tidak Mewakili Sikap Institusi
Universitas Podomoro angkat bicara terkait pemberitaan yang menyebut mahasiswanya melakukan gugatan ke Mahkamah Konstitusi (MK).
Editor: Malvyandie Haryadi
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Universitas Podomoro angkat bicara terkait pemberitaan yang menyebut mahasiswanya melakukan gugatan ke Mahkamah Konstitusi (MK).
Pihak kampus mengatakan, hal tersebut merupakan sikap pribadi dan bukan sikap universitas.
Sebelumya, diberitakan beberapa media, termasuk dua orang mahasiswa, Fahrul Rozi dari UIN Syarif Hidayatullah dan Antony Lee dari Podomoro University meminta memanggil Presiden dan DPR dalam mengadili uji materi Pasal 7 ayat (2) huruf e UU Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada (UU Pilkada).
"Tindakan dan pernyataan yang disampaikan oleh mahasiswa itu tidak mewakili kebijakan dan pandangan atau sikap institusi Podomoro University," ujar Dekan Fakultas Kewirausahaan dan Bisnis Podomoro University Wisnu Sakti Dewobroto dalam keterangan yang diterima Tribunnews.com, Kamis (20/6/2024).
Dalam pernyataanya, Podomoro University juga menyatakan tidak pernah menerima informasi maupun permohonan resmi terkait permintaan wawancara dari media manapun terkait topik tersebut.
"Setiap pernyataan atau tindakan individu yang terkait dengan Podomoro University di luar lingkungan kampus adalah tanggung jawab pribadi masing-masing dan bukan merupakan representasi dari kebijakan atau sikap resmi maupun kualitas pendidikan di Podomoro University."
Sebelumnya diberitakan, mahasiswa Podomoro University dan mahasiswa UIN Syarif Hidayatullah meminta Mahkamah Konstitusi (MK) memeriksa Presiden Joko Widodo (Jokowi) atas putusan batas usia Cagub dan Cawagub yang diputus Mahkamah Agung (MA).
Permohonan pemeriksaan Presiden Jokowi itu tertulis dalam gugatan putusan MA atas syarat batas usia Cagub dan Cawagub.
Seperti dikutip dari Warta Kota dan Kompas.com pada Selasa (18/6/2024) dua orang mahasiswa, Fahrul Rozi dari UIN Syarif Hidayatullah dan Antony Lee dari Podomoro University, meminta Mahkamah Konstitusi (MK) memanggil Presiden dan DPR.
Menurut Rozy dan Antony, Presiden dan DPR harus diperiksa terkait putusan MA yang membatalkan Pasal 7 ayat (2) huruf e UU Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada.
"Terhadap permohonan tersebut, Mahkamah Konstitusi wajib memanggil para pihak untuk memberikan keterangannya masing-masing in casu Presiden dan DPR serta Pihak terkait langsung yang memiliki keterkaitan langsung dengan undang-undang dan/atau ketentuan norma yang diuji," ungkap mereka.
Gugatan tersebut didaftarkan ke MK pada 11 Juni.
Dalam dokumen gugatan itu, keduanya meminta agar MK memberlakukan tafsir yang jelas terhadap syarat usia calon kepala daerah, yakni terhitung saat penetapan calon.
"Sudah benar dan tepat jika Komisi Pemilihan Umum Republik Indonesia (KPU RI) menerjemahkan persyaratan usia minimal sebagaimana diatur dalam Pasal 7 ayat (2) huruf e Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 di atas ke dalam ketentuan Pasal 4 ayat (1) Peraturan KPU (PKPU) Nomor 9 Tahun 2020," tulis mereka.
Masalahnya, PKPU itu belakangan dibatalkan oleh Mahkamah Agung (MA) yang mengabulkan gugatan Partai Garuda secara kilat.
MA mengubah syarat usia calon dari sebelumnya dihitung saat penetapan pasangan calon menjadi dihitung saat pelantikan calon terpilih.
MA menilai bahwa PKPU itu melanggar UU Pilkada.
Putusan ini dianggap menimbulkan ketidakpastian hukum lantaran jadwal pelantikan kepala daerah terpilih boleh jadi berbeda-beda, meskipun pilkadanya berlangsung serentak pada 27 November nanti.
Sebagian berita telah tayang di Warta Kota