HUT Bhayangkara ke-78, Usman Hamid Minta Polisi Berhenti Bersikap Sewenang-wenang
Usman Hamid meminta Polri harus segera menghentikan kekerasan berlebih dan kesewenang-wenangan anggotanya karena aksi represif polisi terus terjadi.
Penulis: Rahmat Fajar Nugraha
Editor: Theresia Felisiani
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia, Usman Hamid meminta Kepolisian Republik Indonesia harus segera menghentikan kekerasan berlebih dan kesewenang-wenangan anggotanya.
Aksi represif polisi atas kebebasan sipil dinilai terus berlangsung dan berpotensi melanggengkan impunitas bila negara tetap meloloskan Revisi Undang-Undang Polri.
“Kapolri seringkali menyatakan akan melakukan perbaikan dan reformasi di tubuh Polri. Tampaknya ini tidak kunjung terwujudkan," kata Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia, Usman Hamid, bertepatan dengan Hari Bhayangkara ke-78, Senin, (1/7/2024).
“Aksi kekerasan berlebih dan praktik kesewenang-wenangan lainnya terhadap mereka yang membela haknya, terhadap mereka yang kritis, terhadap mereka yang memiliki pandangan politik berbeda, masih terus terjadi, dan ini sering melibatkan anggota Polri,” jelasnya.
Amnesty International Indonesia sendiri mencatat dalam periode 2019-2023 terdapat sedikitnya 58 kasus penangkapan sewenang-wenang polisi terhadap 412 orang pembela HAM.
Paling banyak yang ditangkap adalah aktivis politik Papua (174), aktivis mahasiswa (150), dan masyarakat adat (44).
Sejumlah jurnalis, aktivis buruh dan lingkungan, hingga petani dan nelayan juga ditangkap saat mereka menggunakan hak untuk berpendapat dan berkumpul.
Baca juga: HUT Bhayangkara ke-78, Aboe Bakar Al Habsyi Harap Polri Semakin Humanis
Kriminalisasi atas pembela HAM berulang kembali tahun ini. Pada 18 April dan 11 Mei lalu, tiga nelayan di Kabupaten Langkat, Sumatra Utara, yang memperjuangkan hutan mangrove dari perusakan ditangkap polisi dengan tuduhan merusak pondok yang didirikan perambah di hutan lindung tersebut.
Para nelayan, sebelumnya, memprotes perusakan hutan mangrove di lingkungan mereka kepada pihak berwenang, namun tidak ada tindak lanjut.
“Ini salah satu sinyal bahwa Polri masih tidak mengindahkan hak masyarakat untuk berpendapat. Sebagai penegak hukum polisi seharusnya memberi ruang dan melindungi warga untuk berkumpul dan menyampaikan pendapat secara damai tanpa menghadapi risiko penangkapan,” kata Usman.
Penggunaan kekuatan berlebihan seperti tindak kekerasan, serta penggunaan gas air mata dan meriam air juga kerap masih dilakukan aparat kepolisian dalam menghadapi kebebasan ekspresi secara damai.
Baca juga: Total Harta Kekayaan dan Sepak Terjang Kabid Hukum Polda Jabar, Siap Lawan Pegi agar Tetap Tersangka
Bahkan, aparat kepolisian mendominasi kasus-kasus penyiksaan terhadap warga sipil dalam beberapa tahun terakhir.
Pada periode Juli 2019 hingga Juni 2024, Amnesty International Indonesia mencatat aparat Polri terlibat atas dugaan 100 kasus penyiksaan dengan 151 korban dari total 142 kasus dengan 227 korban.
Pada 9 Juni lalu, publik dikejutkan dengan dugaan penggunaan kekerasan berlebihan dan penyiksaan polisi terhadap beberapa anak di Kota Padang, Sumatra Barat, dengan dalih penertiban wilayah dari aksi tawuran, yang berujung pada salah satu dari mereka, remaja berusia tiga belas tahun, meninggal dunia.
Personel Polri juga menyundut rokok, memukul dan menggunakan senjata kejut listrik terhadap anak-anak yang ditangkap dan dituduh melakukan tawuran.
“Pada Hari Bhayangkara ini Polri harus mengakui kalau mereka telah gagal dalam menegakkan hak asasi manusia. Pengakuan ini harus menjadi momentum bagi Polri untuk benar-benar memperbaiki diri, tegakkan hukum atas aparatnya yang terlibat dalam kekerasan yang sewenang-wenang dan mencegah agar peristiwa serupa tidak terulang,” kata Usman.