Menko Airlangga: Pembatasan BBM Subsidi Belum Goal, Masih Dirapatkan Lagi
Menteri Koordinator bidang Perekonomian Airlangga Hartarto mengatakan wacana pembatasan BBM bersubsidi ini masih perlu dirapatkan kembali.
Penulis: Galuh Widya Wardani
Editor: Garudea Prabawati
TRIBUNNEWS.COM - Wacana pembatasan Bahan Bakar Minyak (BBM) bersubsidi masih belum pasti diterapkan pada 17 Agustus 2024.
Pernyataan itu disampaikan Menteri Koordinator bidang Perekonomian Airlangga Hartarto di Istana Kepresidenan, Jakarta, Rabu, (10/7/2024).
Menurutnya, wacana pembatasan BBM bersubsidi ini masih perlu dirapatkan kembali.
“Kita akan rapatkan lagi, belum (pasti diterapkan pada 17 Agustus 2024),” kata Airlangga.
Selain itu, lanjut Airlangga, Peraturan Presiden (Perpres) No. 191 tahun 2014 tentang Penyediaan, Pendistribusian dan Harga Jual Eceran Bahan Bakar Minyak juga masih perlu dirapatkan.
Pembahasan masih perlu dilakukan, karena ada konsekuensi fisikal dari kebijakan pembatasan subsidi BBM.
"Belum goal, kita kan mesti rapat, dirapat koordinasi kan dulu."
"Tentu ada perhitungan daripada konsekuensi fiskal juga ada," jelas Airlangga.
Diketahui sebelumnya, wacana pembatasan pembelian BBM subsidi ini akan diberlakukan pada 17 Agustus 2024 disampaikan Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Menko Marves) Luhut Binsar Pandjaitan.
Luhut menyampaikan, pembatasan dilakukan agar penyaluran BBM subsidi lebih tepat sasaran.
"Kita berharap 17 Agustus ini kita sudah bisa mulai, di mana orang yang tidak berhak dapat subsidi itu akan bisa kita kurangi," ucap Luhut, Rabu (10/7/2024).
Menurut Luhut, dengan pembatasan tersebut, pemerintah dapat melakukan penghematan dalam APBN 2024.
Beriringan dengan ini, pemerintah juga mendorong pengembangan bioetanol sebagai bahan bakar pengganti BBM yang berbasis fosil.
Bioetanol merupakan jenis bahan bakar yang dihasilkan dari proses ferementasi bahan-bahan organik, terutama tumbuhan dengan kandungan karbohidrat tinggi.
"Kita kan sekarang berencana mau mendorong segera bioetanol masuk menggantikan bensin, supaya polusi udara ini juga bisa dikurangi cepat," jelas Luhut.
Setidaknya, kata Luhut, kandungan sulfur dari bensin bisa mencapai 500 ppm.
Sementara bioetanol jauh lebih rendah kandungan sulfurnya bisa hanya mencapai 50 ppm.
Kondisi sulfur yang tinggi tentu akan mempengaruhi kualitas udara dan berdampak pada kesehatan manusia.
Dengan demikian, bisa menekan jumlah penderita infeksi saluran pernapasan akut (ISPA), alih alih hanya untuk menghemat anggaran negara untuk penyakit pernapasan hingga Rp 38 triliun.
Saat ini, pengembangan bioetanol sedang dilakukan Pertamina.
"Kalau ini semua berjalan dengan baik, kita bisa mengemat lagi," tutur Luhut.
Senada dengan Luhut, Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Erick Thohir mengatakan wacana ini memang seharusnya dilakukan agar BBM bersubsidi benar-benar tepat sasaran.
Terutama digunakan untuk orang yang tidak mampu, bukan malah dikonsumsi oleh orang kaya.
"Jangan sampai BBM (subsidi) ini digunakan oleh orang yang mampu, tetapi yang berhak mendapatkan BBM bersubsidi," ujarnya saat ditemui di kawasan Kota Tua, Jakarta, Rabu (10/7/2024) dikutip dari Kompas.com.
Lebih lanjut, Erick berharap Perpres yang mengatur pembatasan BBM bersubsidi itu bisa dipercepat penyelesaiannya.
Saat ini, pemerintah tengah memproses revisi Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 191 Tahun 2014 tentang Penyediaan, Pendistribusian, dan Harga Jual Eceran BBM.
Termasuk aturan pembatasan pembelian elpiji subsidi juga harus diberlakukan.
"Kita sangat mendukung Perpres 191 untuk segera didorong."
"Tidak hanya buat BBM, tapi kita berharap juga buat gas, karena LPG impornya tinggi sekali sekarang dan ini yang kita harus benahi, jangan sampai subsidi salah sasaran," jelas Erick.
Terkait kesiapan Pertamina, kata Erick, Pertamina tentu akan mengikuti kebijakan yang ditetapkan pemerintah.
"Jadi saya tunggu saja (Perpres 191 rampung), karena itu kan harus ada kebijakan."
"Ingat lho bahwa BUMN ini kan korporasi, bukan pengambil kebijakan," jelas Erick.
(Tribunnews.com/Galuh Widya Wardani/Taufik Ismail/Dennis Destryawan)(Kompas.com/Yohana Artha Uly)
Kirim Komentar
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.