Wali Kota Semarang Mbak Ita & Suaminya jadi Tersangka Dugaan Korupsi, Keberadaannya Masih Misterius
Wali Kota Semarang Hevearita Gunaryanti Rahayu, atau Mbak Ita bersama suaminya Alwin Basri ditetapkan KPK sebagai tersangka kasus dugaan korupsi.
Penulis: Faryyanida Putwiliani
Editor: Whiesa Daniswara
TRIBUNNEWS.COM - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) telah menetapkan Wali Kota Semarang Hevearita Gunaryanti Rahayu atau Mbak Ita sebagai tersangka kasus dugaan korupsi.
Tak hanya Mbak Ita, sang suami Alwin Basri juga turut ditetapkan menjadi tersangka dugaan korupsi.
Sebelumnya, KPK juga melakukan penggeledahan di Kantor Wali Kota Semarang.
Hasilnya petugas KPK membawa keluar dua buah koper dari Balai Kota Semarang dan langsung dibawa ke mobil dengan pengawalan ketat.
Penggeledahan di Kantor Wali Kota Semarang berlangsung pada Rabu (17/7/2024) kemarin, sejak pukul 09.00 WIB hingga 18.30 WIB.
Saat penggeledahan, petugas KPK hanya membawa keluar koper dan tak ada tanda-tanda pejabat tertentu yang ikut dibawa KPK.
Termasuk Mbak Ita sendiri, ia tak terlihat berada di kantornya meskipun mobil yang masih dipakainya masih terparkir di kantor.
Mbak Ita diketahui terakhir terlihat ketika menghadiri kegiatan di Gedung Gradhila Bhakti Praja, Kantor Gubernur Jawa Tengah (Jateng) pukul 08.30 WIB.
Setelah penggeledahan hingga kini, keberadaan Mbak Ita dan suaminya Alwin Basri yang sudah jadi tersangka itu masih misterius.
Korupsi Terkait Pengadaan Barang dan Jasa di Lingkungan Pemkot Semarang
Direktur Penyidikan KPK, Asep Guntur Rahayu mengungkapkan, Mbak Ita dan suaminya Alwin Basri diduga melanggar pasal pemerasan, gratifikasi, dan pengadaan barang dan jasa di lingkungan Pemkot Semarang.
Baca juga: Populer Regional: Mbak Ita dan Suami Tersangka Korupsi - Isu Kapolda Jabar dan Dirreskrimum Tak Akur
"Perbuatannya tersebut dikategorikan atau pasal yang dilanggarnya itu ada yang gratifikasi, ada yang juga pemerasan, ada yang juga di pengadaan,” kata Asep dalam konferensi pers di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta, Rabu (17/7/2024), dilansir Kompas.com.
Asep menuturkan, dalam penggeledahan ini KPK hanya menerbitkan satu Surat Perintah Penyidikan (Sprindik) meskipun perbuatan yang dilakukan diduga melanggar tiga pasal.
Pasalnya para pelaku dalam perkara merupakan orang yang sama.
Untuk itu, KPK tidak membagi perkara dugaan korupsi di Semarang ke dalam klaster-klaster yang berbeda
"Jadi tidak klasternya. Karena pelakunya memang orangnya yang sama, subyek hukumnya sama. Jadi ini tetap nanti satu Sprindik dengan tersangkanya orang tersebut,” terang Asep.
Reaksi Petinggi PDIP
Ketua DPP PDIP bidang Reformasi Sistem Hukum Nasional, Ronny Talapessy, buka suara mengenai langkah KPK menggeledah kantor Wali Kota Semarang, Hevearita Gunaryanti Rahayu atau Mbak Ita yang merupakan kader PDIP itu.
Ronny mengaku mendapatkan banyak pertanyaan mengenai langkah KPK menggeledah kantor Wali Kota Semarang itu mengandung unsur politik atau tidak.
"Ya, hari ini saya mendapat banyak sekali pertanyaan apakah peristiwa penggeledahan di Semarang hari ini ada unsur politik atau tidak?" kata Ronny kepada Tribunnews.com, Rabu (17/7/2024).
Alumnus Universitas Atmajaya Jakarta ini pun menyerahkan kepada masyarakat untuk menilainya.
"Silakan saja publik dan masyarakat menilai. Tentu saja KPK akan bilang tidak ada unsur politik," ujar Ronny.
Baca juga: Usut Dugaan Korupsi Pemkot Semarang di Tengah Pencalonan Mbak Ita di Pilkada, KPK: Murni Ranah Hukum
Ronny juga menyoroti pernyataan Ketua KPK Sementara, Nawawi Pomolango yang menyatakan tidak akan mendaftar calon pimpinan (Capim) maupun Dewan Pengawas (Dewas) KPK karena lembaga itu memiliki banyak persoalan.
"Baru saja kemarin Komisioner Pak Nawawi Pamolango bilang ada terlalu banyak masalah di KPK. Itu yang bicara adalah salah seorang pimpinan KPK. Jadi biarlah publik yang menilai," ucapnya.
Adapun, kemarin KPK menggeledah kantor Wali Kota Semarang, Hevearita Gunaryanti Rahayu atau Mbak Ita.
Selain kantor Wali Kota Semarang, tim penyidik KPK juga menggeledah rumah Mbak Ita.
(Tribunnews.com/Faryyanida Putwiliani/Fersianus Waku)(Kompas.com/Muchamad Dafi Yusuf)