Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribun

Bicara Peristiwa Kudatuli, Bivitri Susanti Ungkap Gaya Baru Hukum Jadi Alat Kekuasaan

Bivitri Susanti mengatakan persitiwa Kerusuhan Dua Puluh Tujuh Juli (Kudatuli) menjadi gambaran ketika hukum digunakan sebagai senjata penguasa.

Penulis: Ibriza Fasti Ifhami
Editor: Adi Suhendi
zoom-in Bicara Peristiwa Kudatuli, Bivitri Susanti Ungkap Gaya Baru Hukum Jadi Alat Kekuasaan
Tribunnews.com/ Ibriza
Diskusi bertajuk Kudatuli: Arus Bawah vs Hukum Alat Kekuasaan di Gedung DPP PDIP, Jakarta Pusat, Sabtu (20/7/2024). 

Laporan Wartawan Tribunnews, Ibriza Fasti Ifhami

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pakar Hukum Tata Negara, Bivitri Susanti mengatakan persitiwa Kerusuhan Dua Puluh Tujuh Juli (Kudatuli) menjadi gambaran ketika hukum digunakan sebagai senjata penguasa.

Bivitri itu menggarisbawahi dua hal mengenai hukum dijadikan alat kekuasaan oleh penguasa.

Pertama, ketika hukum digunakan untuk mematikan pihak-pihak yang berseberangan.

Bahkan, ia mengatakan, hal tersebut menjadi ironi, sebab masih terjadi saat ini.

Dimana, pihak-pihak yang dianggap tak sejalan dengan pemerintah yang berkuasa akan ‘dikriminalisasi’ menggunakan instrumen hukum.

“Yang pertama adalah ketika pandangan berbeda, atau dalam bahasa yang bisa longgar kita gunakan oposisi, pandangan berbeda dalam politik formal itu dimatikan. Dan itulah yang sebenarnya terjadi pada peristiwa 27 Juli sebenarnya,” kata Bivitri, dalam diskusi bertajuk “Kudatuli: Arus Bawah vs Hukum Alat Kekuasaan” di Gedung DPP PDIP, Jakarta Pusat, Sabtu (20/7/2024).

Baca juga: Bakal Ajukan Protes, PDIP Desak Jokowi Masukkan Peristiwa Kudatuli Jadi Pelanggaran HAM Berat

BERITA REKOMENDASI

“Nah, uniknya adalah berpuluh-puluh tahun kemudian ini terjadi lagi, tapi dengan halus sekali,” tambahnya.

Adapun katanya, pemerintahan yang berkuasa saat ini tidak menggunakan serangan fisik secara terbuka, sebagaimana yang terjadi pada peristiwa Kudatuli 1996.

Melainkan, menyasar demokrasi melalui instrumen itu sendiri.

“Mungkin tidak ada lagi penyerangan fisik partai, tapi diserangnya kita, dimatikannya demokrasi kita, itu melalui hukum. Jadi smooth sekali. Kalau tidak dikasih tahu oleh kawan-kawan kita sendiri, mungkin kita tidak sadar bahwa kita sebenarnya tengah dijajah,” jelasnya.

Baca juga: Peristiwa Kudatuli, Romo Benny: Luka Masyarakat Belum Disembuhkan 

Ia menekankan, saat ini demokrasi tengah dirusak dikarenakan alat-alat untuk akuntabilitas kekuasaan yang dimatikan.

Menurutnya, fenomena itu terjadi di dalam jajaran wakil rakyat di Senayan.

Terkait hal itu, ia menekankan, DPR yang seharusnya menjadi kontrol terhadap jalannya pemerintahan justru dimatikan lewat hukum.

“Apa itu akuntabilitas kekuasaan? Salah satunya adalah kekuatan penyeimbang,” kata Bivitri.

“Saya paham Ibu Mega kurang sepakat dan saya setuju dengan itu, kalau kita menggunakan kata oposisi. Karena secara konstitusional kita tidak mengenal kata oposisi. Tapi bahkan penyeimbang di dalam DPR itu dimatikan secara mulus sekali melalui instrumen hukum. Itu yang tengah terjadi. Itu satu ya, mematikan kekuatan penyeimbang,” terangnya.

Selain itu, Bivitri juga menyoroti putusan Mahkamah Agung (MA) soal syarat batas usia calon kepala daerah terhitung saat dilantik, juga menjadi bukti legalisasi politik amoral. Menurutnya, putusan MA itu tidak logis.

“Yang juga secara logika dasar, saya sering bilang nih sama mahasiswa saya, kita tuh tidak usah kuliah 4 tahun ya, kalau baca putusan itu juga ngerti, ini tidak logis. tidak usah kuliah hukum bisa ngerti. Masa iya pendaftaran calon dipahami sebagai pelantikan. Itu aja udah tidak usah belajar hukum lama-lama, kita sudah paham," kata Bivitri.

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
© 2024 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas