DPR: Vonis Bebas Ronald Tannur Potensi Bahaya bagi Preseden Hukum Tanah Air
Ronald Tannur divonis bebas oleh Majelis Hakim Pengadilan Negeri (PN) Surabaya setelah dituntut 12 tahun pidana penjara.
Penulis: Milani Resti Dilanggi
Editor: Nanda Lusiana Saputri
TRIBUNNEWS.COM - Anggota Komisi III DPR Hinca Pandjaitan menilai, vonis bebas Gregorius Ronald Tannur, terdakwa kasus penganiayaan terhadap kekasihnya, Dini Sera Afrianti hingga tewas, bisa berpotensi menimbulkan bahaya bagi preseden hukum di Indonesia.
Ronald Tannur divonis bebas oleh Majelis Hakim Pengadilan Negeri (PN) Surabaya setelah dituntut 12 tahun pidana penjara.
Alasan hakim membebaskan Ronald Tannur pada kasus ini karena tidak ada bukti kuat yang membuktikannya melakukan penganiayaan terhadap Dini hingga tewas, seperti dakwaan jaksa.
Hakim juga menganggap tewasnya Dini bukan akibat penganiayaan yang dilakukan Ronald, tetapi karena dampak dari korban yang mengonsumsi minuman keras (miras) saat berkaraoke di Blackhole KTV Club, Surabaya.
Hinca mengaku heran mengapa hakim tak menerapkan teori dolus indirectus atau kesengajaan tidak langsung dalam memvonis Ronald Tannur.
Ia mengatakan, teori itu cukup diakui di Indonesia untuk meminta pertanggungjawaban seseorang atas akibat yang secara wajar dapat diperkirakan dari perbuatannya.
"Dalam konteks kasus ini, seseorang yang melakukan kekerasan, yang dapat mengakibatkan kematian, harusnya dipertimbangkan dalam spektrum kesengajaan tersebut," ujar Hinca, Kamis (26/7/2024) dikutip dari Kompas.com.
Hinca menilai, tindakan Ronald terhadap pacarnya tersebut seharusnya bisa mengarah pada pertimbangan serius terhadap konsekuensi fatal dari perbuatannya.
Menurutnya, jika hakim memutuskan perkara ini tanpa prinsip tersebut, tak menutup kemungkinan putusan hakim terhadap Ronald Tannur bisa menimbulkan bahaya bagi preseden hukum di Indonesia.
"Ketika pengadilan memutuskan pembebasan tanpa menimbang prinsip ini, kita dihadapkan pada potensi preseden hukum yang membahayakan, di mana interpretasi hukum yang sempit dapat mengesampingkan keadilan substansial," kata Hinca.
"Di tengah respons publik yang kritis dan kekecewaan yang luas atas putusan pengadilan ini, saya mendesak KY untuk tidak hanya mengamati, namun benar-benar memeriksa tajam proses keputusan majelis hakim dalam kasus Gregorius Ronald Tannur," ujar Hinca.
"Pertanyaannya bukan sekadar apakah hukum telah diikuti, melainkan apakah ada keadilan yang dilanggar, proses yang dimanipulasi, atau kepentingan yang dilayani," lanjutnya.
Menutut Hinca, KY sangat perlu meninjau kembali proses pengambilan putusan terhadap anak anggota DPR RI Edward Tannur ini.
Terkait hal ini, Kejaksaan Agung (Kejagung) juga telah menyuarakan kritikannya.
Kirim Komentar
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.