Romo Benny Dorong Pemerintah Minta Maaf ke Korban Tragedi Kudatuli
Benny juga mendorong perlunya proses rekonsiliasi dengan melibatkan semua pihak yang terlibat, termasuk korban, pelaku, dan masyarakat luas.
Penulis: Fersianus Waku
Editor: Bobby Wiratama
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Fersianus Waku
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Budayawan Antonius Benny Susetyo meminta pemerintah mengakui kesalahan dan meminta maaf kepada korban peristiwa 27 Juli 1996, yang dikenal dengan sebutan Kudatuli.
"Pemerintah harus mengakui kesalahan masa lalu dan meminta maaf kepada para korban dan keluarga mereka," kata Benny dalam keterangannya, Sabtu (27/7/2024).
Benny juga mendorong perlunya proses rekonsiliasi dengan melibatkan semua pihak yang terlibat, termasuk korban, pelaku, dan masyarakat luas.
Menurutnya, dengan cara tersebut, luka-luka masa lalu bisa sembuh dan bangsa ini bisa melangkah maju dengan penuh percaya diri.
Benny mengatakan peristiwa 27 Juli 1996 menjadi pengingat betapa seringkali kita lupa akan kejahatan kemanusiaan yang telah terjadi.
"Pembiaran terhadap peristiwa itu menunjukkan betapa hukum saat itu telah mengalami imunitas terhadap pelanggaran hak asasi manusia. Pelanggaran hak asasi manusia bukan hanya melukai sila kedua Pancasila, yaitu kemanusiaan yang adil dan beradab, tetapi juga menghancurkan martabat manusia," ujarnya.
Dia menegaskan, Pancasila seharusnya menjadi dasar dalam cara berpikir dan bertindak, terutama dalam hal menghormati hak asasi manusia.
"Jika Pancasila dikembalikan kepada etika hidup berbangsa dan bernegara, maka pelanggaran terhadap martabat manusia harus selalu diingat dan dituntaskan," ucap Benny.
Benny menuturkan kejahatan kemanusiaan tidak boleh dibiarkan terus terjadi dengan membiarkan hukum mengalami imunitas. Sebab, hukum harus berpihak kepada kemanusiaan dan keadilan, bukan kepada kepentingan kekuasaan.
Baca juga: Komnas HAM Sebut Kajian Peristiwa Kudatuli Akan Rampung dalam Waktu Dekat
Namun, kenyataannya sering kali politik justru menginjak-injak kemanusiaan karena tidak lagi berdasarkan suara hati nurani.
"Ketika politik tanpa hati nurani, maka politik itu menjadi buas dan merusak martabat kemanusiaan. Peristiwa 27 Juli harus menjadi momentum bagi bangsa ini untuk mengembalikan keadaban Pancasila," tutur Benny.
Benny menuturkan peristiwa 27 Juli 1996 harus menjadi pelajaran berharga bagi seluruh masyarakat Indonesia. "Kita harus selalu ingat dan tidak pernah melupakan kejahatan kemanusiaan yang telah terjadi.
Hanya dengan demikian kita dapat membangun masa depan yang lebih baik, di mana hak asasi manusia dihormati dan dijunjung tinggi, serta keadilan dan kemanusiaan menjadi dasar dalam setiap tindakan dan kebijakan," jelasnya.
Menurutnya, peristiwa 27 Juli 1996 tidak hanya mengungkapkan kekejaman pemerintah Orde Baru, tetapi juga menunjukkan betapa rapuhnya demokrasi dan penegakan hukum ketika itu.
Benny menyebut banyak korban peristiwa tersebut hingga kini masih menuntut keadilan dan pengakuan atas penderitaan yang mereka alami.
"Menolak lupa terhadap peristiwa 27 Juli 1996 adalah penting karena banyak korban dari peristiwa ini masih hidup dengan trauma dan kehilangan," tegasnya.
Dia menjelaskan, menolak lupa penting dilakukan untuk memastikan pelaku kekerasan dihukum. Di samping itu, kata dia, membantu generasi muda untuk memahami sejarah kelam Indonesia agar mereka bisa belajar dari masa lalu dan tidak mengulanginya.
"Menolak lupa terhadap peristiwa ini juga berarti mengakui dan memahami pelanggaran hak asasi manusia di masa lalu, yang membantu memperkuat komitmen kita terhadap demokrasi dan penegakan hukum yang adil," ungkap Benny.
Benny menjelaskan kesadaran sejarah harus ditanamkan sejak dini bagi generasi muda, termasuk tentang nilai-nilai demokrasi, hak asasi manusia, dan sejarah bangsa, termasuk peristiwa Kudatuli.
"Dengan demikian, mereka akan tumbuh menjadi warga negara yang kritis, sadar akan hak-haknya, dan berkomitmen untuk menjaga keadilan dan kemanusiaan. Rekonsiliasi dan pengakuan adalah langkah penting lainnya," tuturnya.
Dia juga mendorong peran media untuk menjaga ingatan kolektif masyarakat tentang peristiwa 27 Juli 1996.
"Media harus terus mengangkat isu-isu terkait pelanggaran hak asasi manusia dan ketidakadilan, serta memberikan ruang bagi suara-suara korban," imbuh Benny.
Adapun, tragedi Kudatuli adalah peristiwa penyerangan kantor DPP PDI yang diisi massa pendukung PDI kubu Megawati Soekarnoputri. Penyerangan itu dilakukan massa pendukung PDI kubu Soerjadi bersama sejumlah orang yang diduga aparat.
Upaya penyerangan itu disebut didukung pemerintahan Orde Baru untuk menggulingkan kepemimpinan Megawati.
Peristiwa ini meluas menjadi kerusuhan di beberapa wilayah di Jakarta, khususnya di kawasan Jalan Diponegoro, Salemba, Kramat, dan Jakarta Pusat.
Dari hasil penyidikan Komnas HAM, sebanyak lima orang massa pendukung Megawati tewas, 149 orang terluka, dan 23 orang hilang.
Kirim Komentar
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.