Zonasi Penjualan Rokok di PP Kesehatan Dinilai Bukan Solusi Tetap, Harusnya Produk Ilegal Diberantas
Roy Nicholas Mandey, menyatakan, ketentuan zonasi tersebut dinilai terlalu mengatur tentang cara berjualan bagi produk tembakau.
Penulis: Seno Tri Sulistiyono
Editor: Wahyu Aji
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pengusaha ritel menyebut larangan aktivitas penjualan produk tembakau dalam radius 200 meter dari satuan pendidikan dan tempat bermain anak berpotensi besar menjadi pasal karet yang multitafsir, serta menyulitkan di lapangan.
Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo), Roy Nicholas Mandey, menyatakan, ketentuan zonasi tersebut dinilai terlalu mengatur tentang cara berjualan bagi produk tembakau.
Ia juga menyoroti ketidakjelasan implementasi dari amanat zonasi tersebut.
“Apakah nanti pemerintah yang akan melakukan pengukuran jarak dari tempat berjualan ke satuan pendidikan atau pemerintah akan memberlakukan zona steril di sekitar lingkup satuan pendidikan? Dan definisi pusat pendidikan ini juga belum jelas. Apakah hanya sekolah atau tempat kursus? Narasinya tidak spesifik sehingga menimbulkan multitafsir dan menjadi pasal karet,” tanya Roy ditulis Sabtu (3/8/2024).
Menurutnya, aturan zonasi ini dinilai bukan merupakan solusi yang tepat. Pasalnya, dibandingkan mengatur area penjualan, sebaiknya yang dikedepankan adalah edukasi berkelanjutan bagi anak-anak.
Jika, aturan ini diimplementasikan tanpa adanya perubahan perilaku dan edukasi bagi anak-anak, maka mereka akan dengan mudah terpapar rokok ilegal.
“Mestinya, pemerintah fokus untuk memberantas rokok ilegal agar tidak mudah dijangkau oleh anak-anak. Bukannya memberikan batasan penjualan bagi rokok legal yang memberikan kontribusi sekitar Rp230 triliun bagi penerimaan negara,” terangnya.
Di samping itu, pemerintah juga seharusnya mengedepankan aspek edukasi bagi anak-anak untuk tidak memiliki kebiasaan merokok.
Sepatutnya, aspek edukasi ini dibangun sejak dini mulai dari PAUD hingga sekolah dasar dan menengah untuk menjelaskan risiko kesehatan jika terjadi penyalahgunaan.
Saat ini, yang justru terjadi adalah kelemahan di aspek edukasi yang menyebabkan pemerintah mengambil jalan pintas dengan mengeluarkan regulasi yang membatasi aspek-aspek ekonomi dari produk tembakau.
Padahal, pembatasan penjualan rokok yang tertera pada Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 109 Tahun 2012 sudah mengetatkan aturan penjualan rokok.
“Kalau aturan 200 meter ini diterapkan, apakah ini akan menambah rentetan pasal karet yang dibuat oleh pemerintah? Kalau aturan ini diterapkan, apakah bisa menghilangkan rokok ilegal? Yang ada rokok ilegal akan menjadi lebih banyak daripada rokok legal,” ujarnya.
Roy pun menghimbau agar pemerintah melibatkan para pemangku kepentingan di industri tembakau untuk berdiskusi mengenai PP Nomor 28 Tahun 2024.
Sebab selama ini, Roy mengaku pintu para pemangku kepentingan untuk berpartisipasi dalam perumusan aturan tersebut tidak diakomodir secara serius.
Baca juga: Poin Penting soal Rokok di PP Kesehatan
“Kita berharap ke depannya tentunya ada perbaikan, ada perubahan yang melibatkan pelaku usaha yang merupakan para pejuang ekonomi bagi bangsa. Jangan sampai kami dinomor sekiankan, sehingga kami menjadi tidak bisa berkembang,” paparnya.