Kontroversi Vonis Bebas Ronald Tannur, Praktisi Hukum Yoses Telaumbanua: Duka bagi Pencari Keadilan
Vonis bebas Gregorius Ronald Tannur (31) dalam kasus dugaan pembunuhan terhadap Dini Sera Afriyanti (29) memantik kontroversi.
Penulis: Malvyandie Haryadi
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Vonis bebas Gregorius Ronald Tannur (31) dalam kasus dugaan pembunuhan terhadap Dini Sera Afriyanti (29) oleh Majelis Hakim Pengadilan Negeri Surabaya menuai Kontroversi.
Banyak pihak mengkritik putusan majelis hakim yang menjatuhkan vonis bebas terhadap putra Edward Tannur, mantan Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR-RI) ini.
Praktisi Hukum Yoses Ondrasi Telaumbanua turut mengecam keras.
Ia menilai ketukan palu Hakim Eriantuah Damanik memutus bebas Terdakwa Ronald Tannur, Janggal dan melanggar prinsip imparsialitas.
”Majelis Hakim seperti sedang mempertontonkan ketidaknetralan dalam memutus perkara tersebut. Saya menilai bahwa hakim mengabaikan prinsip Imparsialitas yang dimana hakim diharapkan tidak memihak dan sifatnya objektif dalam memutus suatu perkara.” Kata Yoses Ondrasi Telaumbanua di Menteng, Jakarta Pusat, Senin (5/8/2024).
Kepada wartawan, Yoses Telaumbanua mengatakan putusan Majelis Hakim telah menciderai rasa Keadilan terhadap Korban.
“Putusan No.454/Pid.B/2024/PN.Sby yang memutus bebasnya Terdakwa Gregorius Ronald Tannur menjadi duka bagi Keluarga Korban dan Masyarakat pencari Keadilan. Putusan tersebut telah menciderai rasa Keadilan dan pada akhirnya menimbulkan berbagai pertanyaan apakah prinsip-prinsip Keadilan telah ditegakkan sesuai yang diatur dalam Hukum Pidana Positive Indonesia atau bagaimana.”Ucapnya
Menurutnya, Putusan Bebas Terdakwa Ronald Tannur oleh Ketiga Hakim Pengadilan Negeri Surabaya ini sangat memalukan.
“Hakim terkesan sedang melakukan pelecehan terhadap Proses Peradilan. Di mana para hakim mengambil suatu keputusan hukum tanpa mempertimbangkan bukti atau fakta yang dihadirkan di ruang persidangan."
Ia menambahkan, vonis bebas hakim yang membebaskan terdakwa dari dakwaan jaksa, seakan menabrak hukum terhadap keadilan.
“Keluarnya putusan bebas terhadap terdakwa tanpa mempertimbangkan bukti atau fakta-fakta hukum maka ketiga Hakim tersebut sedang menabrak Hukum terhadap Keadilan."
Untuk diketahui Majelis Hakim Pengadilan Negeri Surabaya memvonis bebas Gregorius Ronald Tannur, terdakwa pembunuhan wanita asal Sukabumi, Jawa Barat, Dini Sera Afriyanti.
Vonis tersebut dibacakan Ketua Majelis Hakim Erintuah Damanik di Pengadilan Negeri Surabaya, Rabu (24/7/2024).
"Terdakwa tidak terbukti secara sah dan meyakinkan sebagaimana dalam Dakwaan pertama Pasal 338 KUHP atau kedua Pasal 351 ayat (3) KUHP atau ketiga Pasal 359 KUHP dan 351 ayat (1) KUHP." Katanya saat membacakan putusan.
Karena itu, Hakim meminta Jaksa membebaskan Terdakwa dari segala Dakwaan.
"Membebaskan terdakwa dari segala dakwaan jaksa penuntut umum di atas," kata hakim.
Bentuk Tim Pemeriksa
Terpisah, Badan Pengawas Mahkamah Agung (Bawas MA) merespons laporan dugaan pelanggaran etik yang diajukan keluarga korban penganiayaan, Dini Sera Afriyanti.
Hal ini terkait terdakwa Gregorius Ronald Tannur (31), anak dari seorang anggota DPR RI yang divonis bebas majelis hakim Pengadilan Negeri Surabaya terkait perkara penganiayaan hingga menewaskan perempuan sekaligus pacarnya, Dini Sera Afriyanti (29).
Ketua Bawas MA, Sugiyanto, mengatakan pihaknya telah menelaah laporan yang diajukan keluarga Dini.
Selanjutnya, tim pemeriksa dibentuk untuk mendalami laporan tersebut.
"Bawas telah selesai melakukan penelaahan dan langsung membentuk tim pemeriksa," kata Sugiyanto, saat dihubungi, Jumat (2/8/2024).
Sugiyanto menjelaskan, saat ini tim pemeriksa sudah mulai bekerja mengumpulkan bahan-bahan yang diperlukan untuk keperluan pemeriksaan para terlapor.
Selanjutnya, ia menyampaikan, tim pemeriksa Bawas MA akan segera meluncur ke Surabaya untuk melakukan pendalaman dan pemeriksaan kepada pihak-pihak terkait dan para pelapor.
"Dalam waktu dekat tim akan segera meluncur ke Surabaya untuk melakukan pendalaman dan pemeriksaan kepada pihak-pihak terkait dan para terlapor, untuk memastikan apakah benar ada pelanggaran kode etik dan pedoman perilaku hakim dalam penjatuhan putusan perkara tersebut atau tidak," jelasnya.