Pakar Sebut Revisi UU Kepolisian Harus Diawali Revisi KUHAP Hingga Penguatan Pengawasan Masyarakat
RUU Kepolisian yang beberapa waktu lalu menimbulkan polemik karena dinilai memperluas kewenangan di tengah berbagai persoalan
Penulis: Gita Irawan
Editor: Adi Suhendi
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Gita Irawan
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Rencana revisi atau Rancangan Undang-Undang (RUU) Kepolisian yang beberapa waktu lalu menimbulkan polemik karena dinilai memperluas kewenangan di tengah berbagai persoalan yang menerpa institusi Bhayangkara kembali disorot.
Pakar Hukum Tata Negara Bivitri Susanti memandang kepolisian perlu dilihat bukan sekadar aparat keamanan bersenjata melainkan aparat penegak hukum.
Dengan begitu peran kepolisian posisi sama dengan jaksa, advokat, maupun hakim.
"Jadi seharusnya kalau kewenangan dia sebagai penegak hukum juga mau ditambah, yang mana dilakukan oleh UU ini, maka harusnya tidak boleh per lembaga begitu duluan. Harusnya KUHAP-nya duluan yang direvisi. Kitab UU Hukum Acara Pidana," kata Bivitri dalam Diskusi Publik bertajuk Revisi UU Polri: Ancaman Bagi Hak Asasi, Negara Hukum, dan Demokrasi yang disiarkan di kanal Youtube Yayasan LBH Indonesia pada Jumat (9/8/2024).
Menurut dia KUHAP mengatur semua prosedur hukum mulai dari penyelidikan, penyidikan, upaya paksa, hingga penuntutan.
Baca juga: Soal Partisipasi Publik RUU Polri, Mardani Ali Sera: Harus Dibahas Seksama dan Hati-hati
"Diaturnya di situ tata caranya yang harus rapih sekali sesuai asas negara hukum, harus ada perlindungan HAM," kata dia.
Menurutnya, apabila hal itu tidak dilakukan, proses check and balances terhadap lembaga penegak hukum menjadi tidak seimbang.
Padalah, kata dia, proses tersebut sangat diperlukan khususnya dalam proses penegakan hukum pidana.
Baca juga: Pakar Hukum Sebut RUU Polri Bukan Reformasi Kepolisian, Ini Alasannya
"Tidak boleh ada yang terlalu dominan kecuali untuk kepentingan konsistensi penegakan hukum. Tapi kalau hanya untuk sekadar power untuk menekan itu seharusnya nggak boleh," kata dia.
"Itu yang saat ini tengah terjadi untuk menciptakan kekuasaan yang nantinya sangat-sangat minim kontrol dan itu bahaya betul bagi demokrasi kita," lanjut dia.
Sorot Kinerja Kepolisian
Wakil Ketua Bidang Advokasi dan Jaringan Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Arif Maulana menyoroti kinerja kepolisian.
Ia menyoroti fakta di mana kepolisian pernah melakukan penangkapan terhadap 1.489 orang dalam aksi demonstrasi di Jakarta pada 24 sampai 30 September 2019.
Di Jakarta, tercatat setidaknya 90 demonstran dilarikan ke rumah sakit di mana tiga di antaranya mengalami luka serius.
Belum lagi, tercatat total lima orang meninggal dunia dalam aksi yang digelar di sejumlah wilayah di Indonesia tersebut.
"Kalau kita bicara pascareformasi, baru kali ini orang aksi ditangkap sedemikian banyak dan menyampaikan pendapat dianggap kriminal. Ini sudah kayak Orde Baru yang dulu kita tumbangkan bersama-sama," kata Arif.
Arif juga menyebut bahwa YLBHI juga mencatat sejumlah kasus di mana kepolisian menjadi pelaku penyiksaan maupun terlibat dalam ekstra judicial killing.
Satu di antara kasus yang disorotnya adalah terkait tewasnya bocah 12 tahun di Sumatera Barat, Afif Maulana, yang diduga melibatkan anggota kepolisian.
Tak hanya itu, ia juga menyoroti adanya praktik yang telah dilakukan kepolisian dalam kerja-kerjanya belakangan ini meskipun menurutnya hal tersebut menyalahi undang-undang.
Praktik tersebut yakni menyita ponsel, memeriksa ponsel, dan menyita akun media sosial.
Praktik tersebut, menurutnya juga muncul dalam beberapa kasus termasuk kasus Afif.
Padahal menurutnya praktik tersebut harus dilakukan dengan seizin pengadilan.
"Itu harus ada izin dari pengadilan karena itu bagian dari upaya paksa," kata dia.
Ia menambahkan kinerja kepolisian juga dapat dinilai dari catatan lembaga negara lain misalnya Komnas HAM maupun Ombudsman selama 10 tahun ke belakang.
Sebagai informasi Komnas HAM mencatat jumlah aduan terhadap Polri terkait dugaan pelanggaran HAM pada tahun 2023 mencapai 771 kasus sedangkan pada tahun 2022 yakni sebanyak 861 kasus.
Sementara itu, Ombudsman RI tercatat menerima 7.844 laporan masyarakat terkait pelayanan publik yang diselenggarakan oleh Kepolisian selama periode 2019 hingga triwulan 1 tahun 2024.
"Ini catatan yang serius. Tetapi yang menjadi pertanyaan, ketika muncul RUU, kenapa kemudian tidak menjawab evaluasi terhadap kepolisian yang ternyata secara administrasi, transparansi, akuntabilitasnya sangat buruk dan menjadi lembaga yang paling banyak dilaporkan dugaannya melanggar HAM," kata dia.
"Karena memang punya upaya paksa yang begitu luar biasa tapi tanpa kontrol yang efektif," ucap dia.
Pelibatan Publik dan Lembaga Negara
Koordinator Indonesia Corruption Watch (ICW) Agus Sunaryanto memandang pengawasan terhadap kepolisian penting, khususnya untuk mengatasi korupsi di kepolisian.
Terkait itu, ia pun menyoroti sejumlah kasus di antaranya kasus Aiptu Labora Sitorus pada 2013 yang memiliki rekening dengan nilai transaksi mencapai Rp 1,5 triliun, rekening tak wajar (rekening gendut) 17 perwira polisi, hingga kasus korupsi AKBP Brotoseno.
Menurutnya pengawasan terhadap kepolisian penting karena kepolisian memegang peran penting dalam menjaga ketertiban umum dan supremasi hukum.
Selain itu, kata dia, kepolisian juga penting untuk menjaga legitimasi negara termasuk menjaga kepercayaan publik.
Dengan demikian, lanjut dia, transparansi dan akuntabilitas dari institusi kepolisian menjadi penting untuk dijaga.
"Itulah pentingnya pengawasan eksternal (masyarakat) harus terus didorong. Tentu harapannya bisa menyeimbangkan, atau secara proporsional melakukan pengawasan paralel dengan pengawasan internal (Itwasum Polri dan Ditpropam Polri)," kata dia.
Selain itu, menurutnya peran masyarakat juga dapat diakomodir dengan peran pengawas internal kepolisian.
Ia mencontohkan dalam hal itu terkait peran masyarakat dalam menyampaikan pengaduan.
"Harapannya kalau sekarang misalnya oleh Kompolnas. Tapi kan Kompolnas selama ini justru banyak melakukan upaya melindungi. Bahkan seperti jadi jubirnya kepolisian. Ini yang menurut saya juga menjadi persoalan," kata dia.
Namun menurutnya, ada lembaga-lembaga negara lain yang perannya bisa dioptimalkan untuk bisa mengawasi kinerja kepolisian.
Satu di antaranya, kata dia, adalah Komnas HAM dan lembaga peradilan.
"Bagaimana dengan Komnas HAM? Apakah kita bisa memanfaatkan Komnas HAM menjadi salah satu pengawas eksternal terhadap kepolisian? Jadi peluangnya masih ada menurut saya. Termasuk peran lembaga peradilan," kata dia.
Kirim Komentar
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.